Masa Tomakaka Sampai Terbentuknya Konfederasi
Mandar
Mandar
merupakan nama salah satu suku yang ada di Sulawesi Selatan sebelum Mandar
memisahkan diri dan akhirnya membentuk Provinsi baru bernama Sulawesi Barat.
Cikal bakal penduduk yang menduduki daerah Mandar adalah kelompok-kelompok
masyarakat yang masing-masing kelompok dipimpin oleh Tomakaka.[3] Keturunan
Pitu Ba’bana Binanga dan Pitu Ulunna Salu berawal dari pertemuan
antara perempuan bernama Lambare Susu
yang tinggal di Kalumpang , anak dari Pa’doran
yang tinggal di Ulu Sa’dang dengan
seorang yang bernama Tobabina, anak Pangkopadang yang pergi menetap di Kalumpang. Keturunannya inilah yang
menyebar dan kemudian menjadi Tomakaka
di masing-masing daerah. [4]
Tomakaka merupakan pimpinan dari
kelompok-kelompok yang ada di daerah Mandar. Beberapa catatan sejarah
menyebutkan bahwa ada 41 Tomakaka
yang masing-masing memerintah di daerah domisilinya, diantaranya:
1.
Tomakaka Ulu Sa’dang
2.
Tomakaka di Moting, Rantebulahan
3.
Tomakaka Rantebulahan
4.
Tomakaka Lembang Api (Allu)
5.
Tomakaka Makula (Pambusuang)
6.
Tomakaka Salimbo’bo Sambo’bo
7.
Tomakaka Lenggo’ (Mapilli)
8.
Tomakaka Batuwulawang
9.
Tomakaka Garombang
10. Tomakaka di Tamaranu
11. Tomakaka di Pajosang
12. Tomakaka Saragian (Allu)
13. Tomakaka Ambo’ Padang (Tubbi)
14. Tomakaka Kelapa Dua
15. Tomakaka Passokkoran
16. Tomakaka Malandi (Campalagian)
17. Tomakaka Karamangang
18. Tomakaka Titie (Mapilli)
19. Tomakaka Lrang-Lerang
20. Tomakaka Napo
21. Tomakaka Pangale (Samasundu)
22. Tomakaka Sajoang (Allu)
23. Tomakaka Salirri (Limboro)
24. Tomakaka Leppong (Ranggean)
25. Tomakaka Puttanginor (Allu)
26. Tomakaka Patui (Tandassura)
27. Tomakaka Tande (Majene)
28. Tomakaka Buttupau (Pamboang)
29. Tomakaka Salabose (Majene)
30. Tomakaka Sonde (Tappalang)
31. Tomakaka Selumase (Tappalang)
32. Tomakaka Puttade (Cenrana)
33. Tomakaka Seppong (Ulumanda)
34. Tomakaka Tabbang
35. Tomakaka Balobang (Pamboang)
36. Tomakaka Paubang (Majene)
37. Tomakaka Binuang
38. Tomakaka Lebbani (Mamuju)
39. Tomakaka Kalukku (Mamuju)
40. Tomakaka Kalumpang
Kondisi kehidupan pada masa Tomakaka yang memiliki kelompok-kelompok
tampak memiliki jalinan hubungan keluarga namun masing-masing kelompok memiliki
kemerdekaan dan kebebasannya sendiri sehingga pada satu sisi terjadi persekutuan
namun disisi lain terjadi konflik. Konflik ini terjadi akibat adanya penyerangan
yang dilakukan oleh Tomakaka satu
dengan Tomakaka lainnya atau
penyeragan satu persekutuan kepada persekutuan lainnya dengan maksud untuk
menguasai daerah yang didiami oleh Tomakaka
atau persekutuan Tomakaka lainnya.[6]
Konflik ini berlangsung sekian lama sehingga
menyebabkan kondisi masyarakat Mandar pada saat itu menjadi tidak tentram dan
tidak stabil akibat saling serang menyerang antara satu Tomakaka dengan Tomakaka
lainnya atau satu satu persekutuan Tomakaka
dengan persekutuan Tomakaka lainnya.
Penyerangan ini dilakukan karena satu Tomakaka merasa kuat atas Tomakaka lainnya sehingga mereka ingin
memperluas wilayah kekuasaannya dengan menaklukkan Tomakaka lainnya.
Sebelum persekutuan Pitu Ba’bana Binanga dan Pitu Ulunna Salu muncul, sebelumnya
telah terbentuk satu Kerajaan yang sangat kuat bernama Kerajaan Passokkorang yang
bertempat di lembah aliran sungai Maloso
di daerah Mapilli dengan beberapa Sekutunya seperti Tomakaka di Lerang, Tomakaka
di Lenggo, Tomakaka di Batu, dan Tomakaka Tande. Mereka sering melakukan
tindakan semena-mena kepada beberapa penduduk di daerah Napo, Mosso, Samasundu,
Todangtodang, dan Limboro. Kerajaan ini sangat kuat dan tak ada satupun Tomakaka atau persekutuan Tomakaka lainnya yang mampu menandingi
kekuatan Kerajaan Pasokkorang.[7]
Kekejaman dan tindak sewenang-wenang
dari Kerajaan Passokkorng kepada beberapa Tomakaka
di wilayah Mandar mendorong beberapa Tomakaka
seperti Tomakaka Napo, Tomakaka Samasundu, Tomakaka Mosso, dan Tomakaka
Todangtodang membentuk sebuah perSekutuan yang disebut Appe Banua Kaiyyang (empat negeri besar). Persekutuan ini dibentuk
dengan tujuan untuk memulihkan keamanan dan ketertiban masyarakat serta
menghadapi ancaman dan gangguan yang dilakukan oleh Kerajaan Passokkoran
beserta sekutunya sebab tindakan dari Kerajaan Passokkoran beserta sekutunya
sangat agresif dan sangat ingin menguasai daerah di sekitarnya.[8]
Hegemoni Kerajaan Passokkorang beserta
sekutunya atas Tomakaka lainnya
nampaknya tak mampu ditandingi oleh Kekuatan yang digalang oleh Appe Banua Kaiyyang karena mereka tidak
hanya melakukan perebutan wilayah tetapi juga melakukan pembunuhan dan
perampasan harta benda rakyat sehingga mereka mencari pemimpin yang dapat
membantu untuk menyelamatkan rakyat dan mampu mempertahankan negeri mereka.
Usaha pencarian pemimpin tersebut akhirrnya
jatuh pada seorang panglima perang asal Mandar yang tumbuh dan besar di
kerajaan Gowa bernama I Manyambungi[9]
karena dianggap mampu untuk memimpin berdasarkan pengalaman di kerajaan Gowa (Makassar).
Pemilihan ini juga disebabkan maksud dari Appe
Banua Kaiyyang untuk menjalin kerja sama dengan Kerajaan Makassar yang
telah membangun hegemoni kekuasaan di Sulawesi Selatan sejak abad ke 16.
Pemimpin Appe Banua Kaiyyang kemudian
memutuskan mengirim utusan Tomakaka
Mosso ke Makassar untuk meminta I
Manyambungi agar segera pulang ke Mandar untuk menjadi pemimpin dan
memulihkan kondisi keamanan dan ketertiban di daerah Mandar dari Hegemoni
kekuasaan Kerajaan Passokkorang. Utusan tersebut mendapat tanggapan positif
dari raja Gowa ke 9 Karaeng Tumapa’risi
Kalonna (1510-1546) maupun I Manyambungi.[10]
Raja Gowa ke 9 tersebut kemudian
menyerahkan beberapa benda pusaka kepada utusan Appe Banua Kaiyyang sebagai itikad baik untuk menjalin kerja sama
dengan kerajaan Mandar. Selain benda-benda pusaka, Raja Gowa melakukan ikrar
kesepakatan sebelum I Manyambungi
meninggalkan Gowa. Ikrar tersebut adalah :
“Besok lusa,
mana kala Gowa dalam keadaan bahaya, hendaklah engkau datang membantu, kecuali
jika bahaya tersebut hanya dalam negeri saja, anda tidak saya harapkan
terkecuali keiginanmu sendiri. Demikian juga jika Mandar dalam keadaan bahaya
di pagi hari hendaklah segera mungkin memberi tahu di sore hari, demikian juga
halnya jika kena bahaya di sore hari hendaknya memberi tahu di pagi hari. Besok
lusa jika ada orang Gowa dan Mandar berselisih, cari dan bunuhlah. Jika orang
Gowa mengatakan demikian, maka Mandar lah yang harus membunuhnya., jika orang
Mandar yang mengatakan demikian, maka Gowa lah yang harus membunuhnya. Demikian
pembuktian bahwa Mandar dan Gowa tidak berselisih”[11]
Setibanya di Mandar, I Manyambungi
langsung memerangi para Tomakaka yang
sering membuat kekacauan di Mandar dibantu oleh Kerajaan Gowa dan berhasil
menaklukkan beberapa Tomakaka
diantaranya Tomakaka Lerang, Tomakaka Lenggo, Tomakaka Lempong, Tomakaka
Poisang, Tomakaka Tande, Tomakaka Batu, dan Tomakaka Kadake Lette. Keberhasilanya dalam menentramkan kembali
daerah Mandar dari Tomakaka yang
sering membuat onar membuatnya dinobatkan menjadi pemimpin dari persekutuan Appe Banua Kaiyyang beserta
wilayah-wilayah yang berhasil ditaklukannya. Pemerintahan ini kemudian menjadi
dasar berdirinya Kerajaan Balanipa dengan pusat pemerintahannya di Napo.
Berdirinya Kerajaan Balanipa telah mengubah nama gelar persekutuan dari Tomakaka menjadi Pappepuangan (yang dipertuankan) yaitu Pappepuangan Napo, Pappepuangan
Samasundu, Pappepuangan Mosso, dan Pappepuangan Todangtodang yang
masing-masing memiliki wewenang untuk mengatur daerahnya sendiri. Empat Pappepuangan inilah yang menjadi lembaga
adat yang dikenal dengan nama dewan ada’
kaiyyang (dewan adat besar) yang mempunyai wewenang memilih, mengangkat,
dan memberhentikan Raja pada Kerajaan Balanipa. [12]
Setelah I Manyambungi wafat, maka
anaknya yang bernama Tomepayung
menggantikan ayahnya menjadi Raja Balanipa sesuai dengan persetujuan dewan ada’ kaiyyang. Pada masanya, Tomepayung berhasil menghimpun kekuatan
dengan beberapa Kerajaan yang ada di Mandar dan lazim disebut dengan perjanjian
Tammejarra I. Perjanjian ini dihadiri
oleh 6 kerajaan yang ada di Mandar diantaranya Kerajaan Balanipa yang diwakili Tomepayung, Kerajaan Sendana diwakili Puatta I Kubur, Kerajaan Banggae
diwakili Daetta Melanto, Kerajaan Pamboang
diwakili Daeng Palewa Tomelake, Kerajaan
Tappalang diwakili Puatta Karanamu, Kerajaan
Mamuju diwakili Tomojammeng dan Kerajaan
Binuang diwakili Amassaneng yang pada
akhirnya membentuk persekutuan Pitu
Ba’bana Binanga. Persekutuan ini terjadi pada tahun 1580 di Tammejarra
Balanipa dengan struktur sebagai berikut:
Kama ‘ (ayah) :
Balanipa
Kindo’ (ibu) :
Sendana
Anak :
Banggae
Pamboang
Tappalang
Mamuju
Binuang. [13]
Setelah
berhasil menghimpun kekuatan dari beberapa Kerjaaan Mandar yang berada di
daerah pesisir, maka raja berikutnya dari Kerajaan Balanipa bernama I Daetta[14]
bersama dengan Kerajaan lain yang tergabung dalam konfederasi Pitu Ba’bana Binanga melakukan
perjanjian dengan Konfederasi Pitu Ulunna
Salu.[15]
Perjanjian ini menyepakati agar Kerajaan dari Pitu Ba’bana Binanga dan Pitu
Ulunna Salu saling menjaga dari serangan Kerajaan lain di luar wilayah
Mandar, Pitu Ba’bana Binanga menghadang
serangan dari arah pesisir atau laut dan Pitu
Ulunna Salu mengahdang serangan dari arah gunung atau hulu sungai.
Perjanian ini diadakan di Luyo pada tahun 1610 dan perjanjian ini lazim disebut
dengan Tammejarra II.[16]
Masuknya Islam di Mandar
Kepercayaan masyarakat sebelum Islam
masuk ke Mandar sama dengan masyarakat lainnya yang ada di Indonesia yaitu
mengenal kepercayaan Animisme dan Dinamisme. Dahulu kala orang-orang takjub
kepada benda-benda alam yang dianggap memiliki kesaktian sehingga menyembahnya.
Kepercayaan seperti itu masih bisa dijumpai sampai sekarang di Galumpang,
Sumarorong, Mamasa, dan Panda. Kepercayaan mereka disebut Mappurondo, sedang tuhan yang ada dalam kepercayaan itu disebut Dewata Mettampa yang dipandang gaib.[17]
Masuknya
Islam di tanah Mandar diperkirakan terjadi pada abad ke 16. Mengenai hal
tersebut, ada beberapa sumber yang menjelaskan tentang masuknya islam di tanah
mandar, diantaranya:
1.
Menurut
Lontara Balanipa, masuknya Islam di Mandar dibawa oleh Abdurrahim Kamaluddin
yang dikenal dengan sebagai Tosalamaq di
Binuang, Ia mendarat di pantai Tammangalle Balanipa. Adapun orang-orang
pertama yang berhasil di Islamkan adalah Kanne
cunang maraqdia raja pallis, kakanna
I pattang daetta tommuane, raja balanipa ke 4.
2.
Menurut
lontara gowa, masuknya islam di Mandar di bawa oleh Syekh Yusuf.
3.
Menurut salah
sebuah surat dari Mekkah, masuknya Islam di Mandar dibawa oleh Sayid Al Adiy
yang merupakan keturunan dari Malik Ibrahim dari tanah Jawa.
4.
Masuknya
islam di Mandar dibawa oleh Syekh Abdul Mannan yang dikenal dengan tosalamaq di salabose yang mengawali
syiar islam di Kerajaan Banggae sekitar tahun 1608.
5.
Masuknya dan
menyebarnya Islam di daerah lain seperti Mamuju, Sendana, Pamboang, dan
Tappalang dibawa oleh Zaid Sakaria dan Kapuang Jawa. [18]
Namun, penyebaran Islam secara
keseluruhan terjadi pada awal abad ke 17 ketika Kerajaan Gowa menerima Islam
dan disebarkan ke seluruh jazirah Sulawesi Selatan termasuk daerah Mandar. Ada
beberapa faktor penyebab Islam sangat mudah menyebar di tanah Mandar, yaitu:
1.
Strategi yang
tepat dilakukan oleh para penyebar Islam yang terlebih dahulu mengislamkan
rajanya. Hal seperti ini juga terjadi pada beberapa Kerajaan yang ada di daerah
Jawa dan Sumatera. Pada saat itu mereka yang tidak menerima Islam akan diusir
dari wilayah kerajaannya.
2.
Masyarakat
Mandar sebelum islam telah mengenal konsep ketuhanan dalam kultur Mandar
walaupun penyebutannya berbeda. Hal ini memudahkan para penyebar islam dalam
memperkenalkan konsep tauhid dalam Islam.[19]
Masa
Penjajahan sampai Terbentuknya Provinsi Sulawesi Barat
Indonesia (pada saat itu masih dikenal
dengan nama Nusantara) mulai mendapat pengaruh dari Eropa ketika Portugis
berhasil mengalahkan Kerajaan Malaka pada tahun 1511 dan diikuti oleh bangsa
Spanyol pada tahun 1521. Selanjutnya, pada tahun 1595 ekspedisi Belanda pertama
beragkat menuju Hindia Timur dengan membawa 4 buah Kapal dengan 249 Awak Kapal
dan 64 pucuk Meriam dibawah pimpinan Cornelis de Houtmen. Pada bulan Juni 1596,
pasukan Cornelis de Houtmen kemudian tiba pertama kali di Banten. [20]
Kedatangan bangsa-bangsa Eropa ke
Indonesia bertujuan untuk menguasai rempah-rempah yang sangat melimpah. Belanda
merupakan bangsa Eropa yang paling lama menancapkan hegemoninya di Indonesia
dengan menguasai beberapa wilayah termasuk Pelabuhan-Pelabuhan yang sangat
strategis yang menjadi pusat perekonomian di beberapa Kerajaan yang ada di
berbagai wilayah Indonesia.
Keadaan ini menyebabkan banyaknya
perusahaan-perusahaan milik Swasta Belanda yang datang ke Indonesia untuk
mengusasi rempah-rempah dan menjualnya ke Eropa. Ada 4 perusahaan Belanda yang
ada di Indonesia pada saat itu dan aroma persaingan diantara para perusahaan
ini tidak bisa dihindari karena komoditi rempah-rempah yang di ekspor laku
keras di pasaran Eropa. Keadaan ini menyebabkan pengiriman rempah-rempah ke
Eropa meningkat pesat sehingga harga rempah-rempah di pasaran Eropa menurun.
Keadaan ini menyebabkan keuntungan yang diperoleh Bangsa belanda juga ikut
menurun.
Pada tahun 1598, parlemen Belanda
mengajukan sebuah usulan agar perusahaan-perusahaan yang saling bersaing
menggabungkan diri dalam satu perserikatan. Selanjutnya, pada bulan Maret 1602
perusahaan-perusahaan yang saling bersaing tersebut menggabungkan diri dan
membentuk perserikatan Maskapai Hindia Timur yang biasa disebut VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) dan
mempunyai wewenang untuk mendaftarkan personil atas dasar sumpah setia,
melakukan peperangan, membangun benteng-benteng, dan mengadakan
perjanjian-perjanjian di seluruh Asia. Selain itu, tujuan pembentukan kongsi
dagang ini untuk memonopoli kegiatan perdagangan rempah-rempah.[21]
Kedatangan bangsa Belanda pertama kali
di Makassar pada tahun 1607 ketika VOC mengirim utusannya bernama Abraham Matys
ke Gowa dengan maksud agar Gowa mau membuka pelabuhannya untuk kapal-kapal Belanda
serta Gowa harus segera menghentikan pengiriman beras ke Maluku. Permintaan ini
langsung ditolak oleh Sultan Alauddin sebagai Raja Gowa dan penolakan ini
membuat ketegangan antara kerajaan Gowa dan Belanda semakin meruncing sehingga
bangsa Belanda berusaha menghalangi pelayar dari Makassar, Bugis, dan Mandar
serta melakukan hasutan-hasutan kepada beberapa Raja di Indonesia Timur agar
membangkang kepada Kerajaan Gowa. Namun, beberapa Kerajaan di Indonesia Timur
menolak hasutan tersebut termasuk Kerajaan di Mandar. Kerajaan Mandar kemudian
mengambil sikap untuk memihak kepada Kerajaan Gowa yang telah menjadi Sekutu
sejak lama. [22]
VOC
telah menyebarkan benih-benih kebencian kepada masyarakat Indonesia. Kebencian
tersebut mengakibatkan terjadinya perlawanan-peralawan rakyat kepada bangsa
Belanda. Salah satu perlawanan ditunjukkan oleh Kerajaan Gowa ketika terjadi Perang
Makassar. Dalam perang ini kerajaan Gowa mendapat dukungan dari pasukan Mandar
sebanyak 1000 pasukan yang dipimpin oleh Mara’dia Balanipa I Daeng Mallari. Dalam pertempuran ini, Kerajaan Gowa mengalami
kekalahan dan Mara’dia Balanipa tewas dalam pertempuran di Galesong pada 15
Agustus 1667. Perang ini dimenangkan oleh Belanda dengan Sekutunya Arung
Palakka sehingga pihak dari Kerajaan Gowa menandatangani Perjanian Bungaya pada
18 November 1667.[23]
Pada tahun 1669 datanglah 4 orang
utusan dari Kerajaan Bone untuk menyampaikan pesan Raja Bone yang berbunyi “Kerajaan Gowa telah tumbang, tidak usah kita
saling bunuh-membunuh, relakanlah hatimu bekerja sama dengan Bone, sama dengan
kerelaanmu bekerja sama dengan Gowa”. Lalu perwakilan dari perSekutuan Pitu Ba’bana Binanga menjawab “apa yang orang Bone katakan, itu kami
(Mandar) percaya, hanya saja kami belum bisa melakukan seperti apa yang
diaharapkan oleh Bone, sebelum kami bertemu dengan Somba Gowa”. [24]
Jawaban dari perwakilan Pitu Ba’bana
Binanga dapat sangat dimaklumi karena hubungan emosional yang terjalin antara
Kerajaan Mandar dan Kerajaan Gowa dibangun sejak lama. Ini juga membuktikan
bahwa Raja di Mandar sangat konsekuen terhadap janji ia katakan.
Utusan Raja Bone sangat kecewa
mendengar jawaban tersebut. Sesampainya di Bone, ia segera menyampaikan jawaban
dari Kerajaan Mandar kepada Arung Palakka. Jawaban dari Kerajaan Mandar sangat
menyinggung Arung Palakka dan akhirnya ia menerima tawaran Belanda yang ditawarkan
jauh sebelumnya untuk menyerang Mandar. Penyerangan kemudian dilakukan sebanyak
3 kali oleh kerajaan Bone dan Belanda namun ketiga penyerangan ini selalu
digagalkan oleh pasukan gabungan dari Pitu
Ba’bana Binanga. Setelah Belanda gagal menguasasi Mandar, maka
berturut-turut Belanda berusaha menguasai Mandar akan tetapi selalu mendapat
perlawanan dari rakyat Mandar hingga pada tahun 1890 Belanda akhirnya berhasil
menguasai Kerajaan Balanipa yang merupakan pimpinan dari perSekutuan Pitu Ba’na Binanga.[25]
Setelah Mandar dikuasai oleh Belanda,
perSekutuan Kerajaan yang tergabung dalam Pitu
Ba’bana Binanga dan Pitu Ulunna Salu
dimasukkan dalam satu organisasi pemerintahan yang disebut Afdeling Mandar yang
berpusat di Majene sejak tahun 1906. Afdeling Mandar dibagi dalam 4 Onderafdeling
yaitu Ondefafdeling Polewali, Onderafdeling, Mamasa, Onderafdeling, Majene, dan
Onderafdeling Mamuju. Meskipun telah dikuasai oleh Belanda, namun beberapa
Mara’dia di Kerajaan Mandar berserta rakyatnya tetap melakukan perlawanan
sampai akhir pendudukan Belanda di Mandar. [26]
Pada tanggal 11 Januari 1942 Tentara
Jepang pertama kali mendarat di Manado Sulawesi Utara dan Tarakan Kalimantan
Timur. Tentara Jepang kemudian langsung melakukan pembersihan terhadap Tentara
Belanda yang dilakukan berbulan-bulan. Pada tahun yang sama Bangsa Jepang
menduduki daerah Sulawesi Selatan termasuk di daerah Mandar. Pada mulanya, kedatangan
Bangsa Jepang di Mandar disambut baik oleh rakyat karena dianggap telah
membebaskan mereka dari penjajahan Belanda. Bangsa jepang juga telah
mempropogandakan bahwa mereka (Jepang) adalah saudara tua yang akan melindungi
saudaranya dari penindasan bangsa kulit putih.[27]
Masa pendudukan Jepang berlangsung
selama 3 tahun 5 bulam antara 1942-1945. Pada April 1944 Tentara Amerika
bersama NICA telah mendarat di Irian Jaya dan selanjutnya tanggal 2 Mei Bendera
Belanda mulai berkibar di Indonesia. Pada tanggal 6 Agustus bom Atom pertama
dijatuhkan oleh Amerika Serikat di Hiroshima yang menewaskan sekitar 78.000
orang , 3 hari berselang bom kedua di jatuhkan di Nagasaki oleh Uni Soviet.
Pemboman yang dilakukan oleh Amerika Serikat dan Uni Soviet telah
menghancurleburkan kekuatan dari Jepang dan akhirnya Jepang menyerah tanpa
syarat kepada Sekutu pada 15 agustus 1945.[28]
Selama pendudukan Jepang, pemerintah
militer Jepang tidak mengubah sistem pemerintahan, kecuali perubahan nama-nama
jabatan. Pemerintahan Provinsi disebut Minseibu,
Afdeling atau Asisten Residen disebut Ken Kanrikan, Onderafdeling atau
Controleur disebut Bun Ken Kanrikan, Raja
disebut Syutyo, Kepala Distrik
disebut Guntyo, Kepala Kampung
disebut Sontyo, H.B.A disebut Hosokan, Jaksa disebut Kensatsuk dan sebagainya.[29]
Menyerahnya Jepang kepada Sekutu
membuat wilayah Indonesia memiliki kesempatan besar untuk memerdekakan diri dan
pada akhirnya tanggal 17 Agustus 1945 Soekarno-Hatta atas nama seluruh bangsa
Indonesia memproklamirkan kemerdekaan bangsa Indonesia dan Bendera Merah Putih
dikibarkan dan berkumandanglah lagu Indonesia Raya.
Republik Indonesia lahir namun tenntara
Sekutu yang tampil sebagai pemenang tidak mengetahui apa saja yang terjadi di
Indonesia selama masa perang berlangsung. Tentara Sekutu kemudian merencanakan
pendaratannya ke Indonesia untuk menerima penyerahan Jepang dan memulihkan
kembali kekuasaan Belanda di Indonesia.
Masa pendudukan Belanda kemudian
kembali setalah Jepang menyerah kepada Sekutu. Pada periode ini, perjuangan
rakyat Mandar dalam menentang penjajahan sangat berbeda dengan periode
sebelumnya. Perjuangan yang dilakukan bukan hanya ingin membebaskan wilayah
Mandar dari penjajahan, namun lebih luas lagi untuk mempertahankan proklamasi
kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Perlu diketahui, pada masa revolusi
(1945-1949) perjuangan yang dilakukan bangsa Indonesia tidak lagi bersifat
kedaerahan namun bersifat nasional dengan pekikan “Merdeka atau Mati”
Setelah perang kemerdekaan
berlangsung, bangsa Belanda menyetujui untuk memberikan kedaulatan kepada
Indonesia melalui Konferensi Meja Bundar dengan syarat-syarat tertentu.
Afdeling Mandar yang berisi Onderafdeling Polewali, Onderafdeling Mamasa, Onderafdeling
Majene, dan Onderafdeling Mamuju kemudian dimasukkan dalam daerah tingkat II
Provinsi Sulawesi Selatan. Daerah tingkat II tersebut adalah Kabupaten Polmas,
Kabupaten Majene, dan Kabupaten Mamuju.
Undang-Undang tentang pemerintahan
daerah yang dikeluarkan pemerintah memberikan kesempatan kepada daerah Mandar
untuk memisahkan diri dengan Provinsi Sulawesi Selatan. Peluang ini kemudian
dimanfaatkan oleh beberapa tokoh Sipamandar
antara lain Husni Djamaluddin, Ma’mun Hasanuddin, Rahmat Hasanuddin, Rosmiani
Ahmad dan kawan-kawan mempelopori dan melakukan kampanye menyangkut pembentukan
Provinsi baru. Untuk mengorganisir perjuangan dengan baik, maka Forum Sipamandar membentuk Komite Aksi Pembentukan
Provinsi Sulawesi Barat (KAPP-SULBAR) pada tanggal 9 september 1998. [30]
Langkah awal yang dilakukan organisasi
ini adalah menyususn pokok-pokok pikiran menyangkut pembentukan Provinsi Sulawesi
Barat. Untuk mensosialisasikan perjuangan maka KAPP-SULBAR membentuk kelompok
kerja (Pokja) di 3 kabupaten yaitu kabupaten Polewali Mamasa yang dikoordinir
oleh Drs. Syahrir Hamdani, Kabupaten Majene dikoordinir oleh Muhammad Jafar,
Kabupaten Mamuju dikoordinir oleh A. Ruchul Thahir.[31]
Ketiga Pokja ini kemudian melakukan sosialisasi di kabupatennya masing-masing
untuk mendapatkan dukungan dalam pembentukan Provinsi Sulawesi Barat.
Kampanye dan usaha yang dilakukan oleh
para pejuang pembentukan Sulawesi Barat mendapatkan lampu hijau ketika pada
tahun 2002 sembilan Fraksi di DPR RI menyatakan mendukung dan setuju Provinsi Sulawesi
Barat dimekarkan. Keputusan pembentukan Provinsi Sulawesi Barat akhirnya resmi
ditetapkan oleh pemerintah dengan ditandatanganinya Undang-Undang Nomor 26
tahun 2004 tentang Provinsi Sulawesi Barat pada tanggal 5 oktober 2004 serta
memberikan beban kepada Provinsi Sulawesi selatan untuk memberikan bantuan dana
kepada pemerintah Provinsi Sulawesi Barat sebanyak Rp. 8.000.000.000,- dalam
kurun waktu 2 tahun. Pada tanggal 16 oktober 2004 Menteri Dalam Negeri atas
nama Presiden Indonesia meresmikan pembentukan Provinsi Sulawesi Barat di Mamuju
dengan pelaksana tugas sementara Gubernur Oentarto Sindung Mawarni. Kurang
lebih 2 tahun kemudian dilaksanakan pemilihan gubernur Sulawesi Barat dan
dimenangkan oleh Anwar Adnan Saleh yang memerintah antara 2006-2011. [32]
[1]
Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Barat tahun 2012
[2]
Syaiful Sinrang, mengenal Mandar sekilas
lintas perjuangan rakyat Mandar melawan Belanda (1667-1949), Ujung Pandang,
1994, hlm. 1-2.
[3]
Istilah Tomakaka berasal dari kata “tau”
yang artinya orang dan “kaka” artinya kakak yang jika digabung kedua
kata tersebut berarti orang yang kakak atau orang yang terdahulu. Bagi
masyarakat Mandar, Tomakaka tidak hanya diartikan sebagai orang yang terdahulu
namun maknanya lebih dalam dan simbolik pada konotasinya apabila kata “kaka”
itu mendapat awalan “ma” sehingga menjadi “makaka”dibelakang kata “to”. Jadi
bagi masyarakat Mandar Tomakaka berarti orang yang dituakan atau orang yang
diangkat dalam jabatan sebagai ketua atau pemimpin. Selengkapnya lihat Tanawali
Aziz Syah, Sejarah Mandar Jilid III, Ujung
Pandang:1998, hlm. 57-59.
[4]
St. Junaeda, Nasionalisme Masyarakat
Mandar, Makassar, 2013, hlm. 23-24; Muhammad Amir, Kelaskaran di Mandar Sulawesi Barat, Makassar, 2010, hlm. 43
[5]
W.J Leyds, Memori van Overgave, Assistent
Resident Mandar,Majene, 1940, hlm. 24-25.
lihat Muhammad Amir, Kelaskaran di
Mandar Sulawesi Barat, Makassar, 2010,
hlm. 43-45
[6]
Edward L. Poelinggomang, Sejarah dan
Budaya Sulawesi Barat, Makassar, 2012, hlm. 27-28
[7]
Muhammad Amir, Kelaskaran di Mandar
Sulawesi Barat, Makassar, 2010, hlm. 46
[8]
Edward L. Poelinggomang, Sejarah dan
Budaya Sulawesi Barat, Makassar, 2012, hlm. 28-29
[9] I
Manyambungi merupakan Raja pertama Kerajaan Balanipa. Semasa kecil ia berangkat
berlayar ke Kerajaan Gowa dan tinggal di Kerajaan Gowa selama 20 tahun dan
menjadi panglima Perang di Kerajaan Gowa. Lihat Syaiful Sinrang, Mengenal Mandar Sekilas Lintas Perjuangan
Rakyat Mandar Melawan Belanda, Ujung Pandang, 1994, hlm. 10-11
[10]
Ibid hlm. 30-31
[11]
Amir Sjarifuddin, Perjanjian
Antarkerajaan Menurut Lontarak. Desertasi (belum diterbitkan) Fakultas
Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin, 1989, hlm. 278-279. Lihat Edward L.
Poelinggomang, Sejarah dan Budaya
Sulawesi Barat, Makassar, 2012, hlm 31-32
[12]
Ibid., hlm 33
[13]
Syaiful Sinrang, mengenal Mandar sekilas
lintas perjuangan rakyat Mandar melawan Belanda (1667-1949), Ujung Pandang,
1994, hlm. 50-52
[14] I
Daetta merupakan raja Balanipa selanjutnya setelah Tomepayug mangkat dari
jabatannya yang memerintah antara tahun 1608-1620
[15]
Pitu Ulunna Salu merupakan kumpulan 7 kerajaan yang berada di hulu sungai atau
pegunungan. Belum ada fakta yang jelas tentang kapan pembentukan konfederasi
Pitu Ulunna Salu. Namun Muhammad Amir dan Sahajuddin mengatakan bahwa
persekutuan ini terbentuk pada abad ke 16. Adapun kerajaan yang tergabung dalam
persekutuan ini adalah Kerajaan Rantebulahan, Aralle, Mambi, Bambang,
Matangnga, Messawa, dan Tabulahan. Lihat Edward L. Poelinggomang, Sejarah dan Budaya Sulawesi Barat, Makassar,
2012, hlm. 51-52
[16]
Sumber lain mengatakan bahwa perjanjian Tammejarra II dilakukan pada masa
pemerintahan Tomepayung. Lihat Syaiful
Sinrang, mengenal Mandar sekilas lintas
perjuangan rakyat Mandar melawan Belanda (1667-1949), Ujung Pandang, 1994,
hlm. 55-57; Edward L. Poelinggomang, Sejarah
dan Budaya Sulawesi Barat, Makassar, 2012, hlm. 57-58
[17]
Mengenai ajaran ini lihat Tanawali Aziz Syah, Sejarah Mandar Jilid III, Ujung Pandang, 1998, hlm. 81-84
[18]Suradi
Yasil dkk, Warisan Salabose, Majene:2013,
hlm. 41; Edward L. Poelinggomang, Sejarah
dan Budaya Sulawesi Barat, Makassar, 2012, hlm. 93-94
[19]
Tanawali Aziz Syah, Sejarah Mandar Jilid
III, Ujung Pandang, 1998, hlm.91-94
[20]
M.C Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, Yogyakarta,
1992, hlm. 33-38
[21]
Ibid., hlm. 39-40
[22] Ahmad dan Marjanah, Sejarah Mandar dan Sejarah Perjuangan Bangsa di Kabupaten Majene,
Majen, 2007, hlm. 79
[23]
Edward L. Poelinggomang, Sejarah dan
Budaya Sulawesi Barat, Makassar, 2012, hlm.99-100
[24]
Syaiful Sinrang, mengenal Mandar sekilas
lintas perjuangan rakyat Mandar melawan Belanda (1667-1949), Ujung Pandang,
1994, hlm. 91
[25] Ahmad Asdy, Tragedi Berdarah Korban 40.000 Jiwa di Mandar, Majene, 2007, hlm.
8-9 ; [25]
Syaiful Sinrang, mengenal Mandar sekilas
lintas perjuangan rakyat Mandar melawan Belanda (1667-1949), Ujung Pandang,
1994, hlm. 92
[26]
Muhammad Amir, Kelaskaran di Mandar
Sulawesi Barat, Makassar, 2010, hlm. 46-47
[27]Abd.
Rahman, Mandar dalam Arus Revolusi, Majene,
hlm. 12
[28]
M.C Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, Yogyakarta,
1992, hlm. 314-315.
[29]
Syaiful Sinrang, mengenal Mandar sekilas
lintas perjuangan rakyat Mandar melawan Belanda (1667-1949), Ujung Pandang,
1994, hlm. 295; Muhammad Amir, Kelaskaran
di Mandar Sulawesi Barat, Makassar, 2010, hlm. 47; Edward L. Poelinggomang,
Sejarah dan Budaya Sulawesi Barat, Makassar,
2012, hlm.108
BalasHapuskeren mantap tulisanya.... jadi sedikit tahu sejarah mandar
terima kasih Ridwan sajal, semoga dapat bermanfaat dan menjadi salah satu sumber rujukan untuk sedikit mengetahui sejarah singkat mendar
HapusBarusan dengar versi ini,maaf bru tahu juga klu ada Anak Pongkapadang yang bernama Tobabina itu anak keberapanya,dan mandar Bagian mana itu Tmakaka ulu sa'dan dan Tomakaka Rante Bulahan.
BalasHapusIyee tdk apa2, tulisan ada media qt berkomunikasi dan sejarah mandar adalah objek komunikasi. Saya selalu senang untuk berdiskusi walaupun berbeda pendapat. Jika ada perbedaan data, mari berdiskusi krn kebenaran sejarah masih bisa qt perdebatkan jika ada data baru yg lebih akurat. Mengenai pertanyaan saudara, saya telah cantumkan food note nya. Jdi data yg saya ambil adalah data dri buku2 yg ditulis oleh sejarawan. Silahkan di cek buku tersebut.
BalasHapusMungkin yang benar 40 tomakaka karna ulu sa'dang itu ada di toraja.
BalasHapus