Senin, 29 September 2014

SEJARAH SINGKAT DAERAH MANDAR


 Masa Tomakaka Sampai Terbentuknya Konfederasi Mandar
            Mandar merupakan nama salah satu suku yang ada di Sulawesi Selatan sebelum Mandar memisahkan diri dan akhirnya membentuk Provinsi baru bernama Sulawesi Barat. Cikal bakal penduduk yang menduduki daerah Mandar adalah kelompok-kelompok masyarakat yang masing-masing kelompok dipimpin oleh Tomakaka.[3] Keturunan Pitu Ba’bana Binanga dan Pitu Ulunna Salu berawal dari pertemuan antara perempuan bernama Lambare Susu yang tinggal di Kalumpang , anak dari Pa’doran yang tinggal di Ulu Sa’dang dengan seorang yang bernama Tobabina, anak Pangkopadang yang pergi menetap di Kalumpang. Keturunannya inilah yang menyebar dan kemudian menjadi Tomakaka di masing-masing daerah. [4]
            Tomakaka merupakan pimpinan dari kelompok-kelompok yang ada di daerah Mandar. Beberapa catatan sejarah menyebutkan bahwa ada 41 Tomakaka yang masing-masing memerintah di daerah domisilinya, diantaranya:
1.      Tomakaka Ulu Sa’dang
2.      Tomakaka di Moting, Rantebulahan
3.      Tomakaka Rantebulahan
4.      Tomakaka Lembang Api (Allu)
5.      Tomakaka  Makula (Pambusuang)
6.      Tomakaka Salimbo’bo Sambo’bo
7.      Tomakaka Lenggo’ (Mapilli)
8.      Tomakaka Batuwulawang
9.      Tomakaka Garombang
10.  Tomakaka di Tamaranu
11.  Tomakaka di Pajosang
12.  Tomakaka Saragian (Allu)
13.  Tomakaka Ambo’ Padang (Tubbi)
14.  Tomakaka Kelapa Dua
15.  Tomakaka Passokkoran
16.  Tomakaka Malandi (Campalagian)
17.  Tomakaka Karamangang
18.  Tomakaka Titie (Mapilli)
19.  Tomakaka Lrang-Lerang
20.  Tomakaka Napo
21.  Tomakaka Pangale (Samasundu)
22.  Tomakaka Sajoang (Allu)
23.  Tomakaka Salirri (Limboro)
24.  Tomakaka Leppong (Ranggean)
25.  Tomakaka Puttanginor (Allu)
26.  Tomakaka Patui (Tandassura)
27.  Tomakaka Tande (Majene)
28.  Tomakaka Buttupau (Pamboang)
29.  Tomakaka Salabose (Majene)
30.  Tomakaka Sonde (Tappalang)
31.  Tomakaka Selumase (Tappalang)
32.  Tomakaka Puttade (Cenrana)
33.  Tomakaka Seppong (Ulumanda)
34.  Tomakaka Tabbang
35.  Tomakaka Balobang (Pamboang)
36.  Tomakaka Paubang (Majene)
37.  Tomakaka Binuang
38.  Tomakaka Lebbani (Mamuju)
39.  Tomakaka Kalukku (Mamuju)
40.  Tomakaka Kalumpang
41.  Tomakaka Lomo (Mamuju).[5]
Kondisi kehidupan pada masa Tomakaka yang memiliki kelompok-kelompok tampak memiliki jalinan hubungan keluarga namun masing-masing kelompok memiliki kemerdekaan dan kebebasannya sendiri sehingga pada satu sisi terjadi persekutuan namun disisi lain terjadi konflik. Konflik ini terjadi akibat adanya penyerangan yang dilakukan oleh Tomakaka satu dengan Tomakaka lainnya atau penyeragan satu persekutuan kepada persekutuan lainnya dengan maksud untuk menguasai daerah yang didiami oleh Tomakaka atau persekutuan Tomakaka lainnya.[6]
Konflik ini berlangsung sekian lama sehingga menyebabkan kondisi masyarakat Mandar pada saat itu menjadi tidak tentram dan tidak stabil akibat saling serang menyerang antara satu Tomakaka dengan Tomakaka lainnya atau satu satu persekutuan Tomakaka dengan persekutuan Tomakaka lainnya. Penyerangan ini dilakukan karena satu Tomakaka merasa kuat atas Tomakaka lainnya sehingga mereka ingin memperluas wilayah kekuasaannya dengan menaklukkan Tomakaka lainnya.
Sebelum persekutuan Pitu Ba’bana Binanga dan Pitu Ulunna Salu muncul, sebelumnya telah terbentuk satu Kerajaan yang sangat kuat bernama Kerajaan Passokkorang yang bertempat di lembah aliran sungai Maloso di daerah Mapilli dengan beberapa Sekutunya seperti Tomakaka di Lerang, Tomakaka di Lenggo, Tomakaka di Batu, dan Tomakaka Tande. Mereka sering melakukan tindakan semena-mena kepada beberapa penduduk di daerah Napo, Mosso, Samasundu, Todangtodang, dan Limboro. Kerajaan ini sangat kuat dan tak ada satupun Tomakaka atau persekutuan Tomakaka lainnya yang mampu menandingi kekuatan Kerajaan Pasokkorang.[7]
Kekejaman dan tindak sewenang-wenang dari Kerajaan Passokkorng kepada beberapa Tomakaka di wilayah Mandar mendorong beberapa Tomakaka seperti Tomakaka Napo, Tomakaka Samasundu, Tomakaka Mosso, dan Tomakaka Todangtodang membentuk sebuah perSekutuan yang disebut Appe Banua Kaiyyang (empat negeri besar). Persekutuan ini dibentuk dengan tujuan untuk memulihkan keamanan dan ketertiban masyarakat serta menghadapi ancaman dan gangguan yang dilakukan oleh Kerajaan Passokkoran beserta sekutunya sebab tindakan dari Kerajaan Passokkoran beserta sekutunya sangat agresif dan sangat ingin menguasai daerah di sekitarnya.[8]
Hegemoni Kerajaan Passokkorang beserta sekutunya atas Tomakaka lainnya nampaknya tak mampu ditandingi oleh Kekuatan yang digalang oleh Appe Banua Kaiyyang karena mereka tidak hanya melakukan perebutan wilayah tetapi juga melakukan pembunuhan dan perampasan harta benda rakyat sehingga mereka mencari pemimpin yang dapat membantu untuk menyelamatkan rakyat dan mampu mempertahankan negeri mereka.
Usaha pencarian pemimpin tersebut akhirrnya jatuh pada seorang panglima perang asal Mandar yang tumbuh dan besar di kerajaan Gowa bernama I Manyambungi[9] karena dianggap mampu untuk memimpin berdasarkan pengalaman di kerajaan Gowa (Makassar). Pemilihan ini juga disebabkan maksud dari Appe Banua Kaiyyang untuk menjalin kerja sama dengan Kerajaan Makassar yang telah membangun hegemoni kekuasaan di Sulawesi Selatan sejak abad ke 16. Pemimpin Appe Banua Kaiyyang kemudian memutuskan mengirim utusan Tomakaka Mosso ke Makassar untuk meminta I Manyambungi agar segera pulang ke Mandar untuk menjadi pemimpin dan memulihkan kondisi keamanan dan ketertiban di daerah Mandar dari Hegemoni kekuasaan Kerajaan Passokkorang. Utusan tersebut mendapat tanggapan positif dari raja Gowa ke 9 Karaeng Tumapa’risi Kalonna (1510-1546) maupun I Manyambungi.[10]
Raja Gowa ke 9 tersebut kemudian menyerahkan beberapa benda pusaka kepada utusan Appe Banua Kaiyyang sebagai itikad baik untuk menjalin kerja sama dengan kerajaan Mandar. Selain benda-benda pusaka, Raja Gowa melakukan ikrar kesepakatan sebelum I Manyambungi meninggalkan Gowa. Ikrar tersebut adalah :
Besok lusa, mana kala Gowa dalam keadaan bahaya, hendaklah engkau datang membantu, kecuali jika bahaya tersebut hanya dalam negeri saja, anda tidak saya harapkan terkecuali keiginanmu sendiri. Demikian juga jika Mandar dalam keadaan bahaya di pagi hari hendaklah segera mungkin memberi tahu di sore hari, demikian juga halnya jika kena bahaya di sore hari hendaknya memberi tahu di pagi hari. Besok lusa jika ada orang Gowa dan Mandar berselisih, cari dan bunuhlah. Jika orang Gowa mengatakan demikian, maka Mandar lah yang harus membunuhnya., jika orang Mandar yang mengatakan demikian, maka Gowa lah yang harus membunuhnya. Demikian pembuktian bahwa Mandar dan Gowa tidak berselisih”[11]
Setibanya di Mandar, I Manyambungi langsung memerangi para Tomakaka yang sering membuat kekacauan di Mandar dibantu oleh Kerajaan Gowa dan berhasil menaklukkan beberapa Tomakaka diantaranya Tomakaka Lerang, Tomakaka Lenggo, Tomakaka Lempong, Tomakaka Poisang, Tomakaka Tande, Tomakaka Batu, dan Tomakaka Kadake Lette. Keberhasilanya dalam menentramkan kembali daerah Mandar dari Tomakaka yang sering membuat onar membuatnya dinobatkan menjadi pemimpin dari persekutuan Appe Banua Kaiyyang beserta wilayah-wilayah yang berhasil ditaklukannya. Pemerintahan ini kemudian menjadi dasar berdirinya Kerajaan Balanipa dengan pusat pemerintahannya di Napo. Berdirinya Kerajaan Balanipa telah mengubah nama gelar persekutuan dari Tomakaka menjadi Pappepuangan (yang dipertuankan) yaitu Pappepuangan Napo, Pappepuangan Samasundu, Pappepuangan Mosso, dan Pappepuangan Todangtodang yang masing-masing memiliki wewenang untuk mengatur daerahnya sendiri. Empat Pappepuangan inilah yang menjadi lembaga adat yang dikenal dengan nama dewan ada’ kaiyyang (dewan adat besar) yang mempunyai wewenang memilih, mengangkat, dan memberhentikan Raja pada Kerajaan Balanipa. [12]
Setelah I Manyambungi wafat, maka anaknya yang bernama Tomepayung menggantikan ayahnya menjadi Raja Balanipa sesuai dengan persetujuan dewan ada’ kaiyyang. Pada masanya, Tomepayung berhasil menghimpun kekuatan dengan beberapa Kerajaan yang ada di Mandar dan lazim disebut dengan perjanjian Tammejarra I. Perjanjian ini dihadiri oleh 6 kerajaan yang ada di Mandar diantaranya Kerajaan Balanipa yang diwakili Tomepayung, Kerajaan Sendana diwakili Puatta I Kubur, Kerajaan Banggae diwakili Daetta Melanto, Kerajaan Pamboang diwakili Daeng Palewa Tomelake, Kerajaan Tappalang diwakili Puatta Karanamu, Kerajaan Mamuju diwakili Tomojammeng dan Kerajaan Binuang diwakili Amassaneng yang pada akhirnya membentuk persekutuan Pitu Ba’bana Binanga. Persekutuan ini terjadi pada tahun 1580 di Tammejarra Balanipa dengan struktur sebagai berikut:
Kama ‘ (ayah) : Balanipa
Kindo’ (ibu)    : Sendana
Anak               : Banggae
Pamboang
Tappalang
Mamuju
Binuang. [13]
            Setelah berhasil menghimpun kekuatan dari beberapa Kerjaaan Mandar yang berada di daerah pesisir, maka raja berikutnya dari Kerajaan Balanipa bernama I Daetta[14] bersama dengan Kerajaan lain yang tergabung dalam konfederasi Pitu Ba’bana Binanga melakukan perjanjian dengan Konfederasi Pitu Ulunna Salu.[15] Perjanjian ini menyepakati agar Kerajaan dari Pitu Ba’bana Binanga dan Pitu Ulunna Salu saling menjaga dari serangan Kerajaan lain di luar wilayah Mandar, Pitu Ba’bana Binanga menghadang serangan dari arah pesisir atau laut dan Pitu Ulunna Salu mengahdang serangan dari arah gunung atau hulu sungai. Perjanian ini diadakan di Luyo pada tahun 1610 dan perjanjian ini lazim disebut dengan Tammejarra II.[16]

Masuknya Islam di Mandar
Kepercayaan masyarakat sebelum Islam masuk ke Mandar sama dengan masyarakat lainnya yang ada di Indonesia yaitu mengenal kepercayaan Animisme dan Dinamisme. Dahulu kala orang-orang takjub kepada benda-benda alam yang dianggap memiliki kesaktian sehingga menyembahnya. Kepercayaan seperti itu masih bisa dijumpai sampai sekarang di Galumpang, Sumarorong, Mamasa, dan Panda. Kepercayaan mereka disebut Mappurondo, sedang tuhan yang ada dalam kepercayaan itu disebut Dewata Mettampa yang dipandang gaib.[17]
            Masuknya Islam di tanah Mandar diperkirakan terjadi pada abad ke 16. Mengenai hal tersebut, ada beberapa sumber yang menjelaskan tentang masuknya islam di tanah mandar, diantaranya:
1.      Menurut Lontara Balanipa, masuknya Islam di Mandar dibawa oleh Abdurrahim Kamaluddin yang dikenal dengan sebagai Tosalamaq di Binuang, Ia mendarat di pantai Tammangalle Balanipa. Adapun orang-orang pertama yang berhasil di Islamkan adalah Kanne cunang maraqdia raja pallis, kakanna I pattang daetta tommuane, raja balanipa ke 4.
2.      Menurut lontara gowa, masuknya islam di Mandar di bawa oleh Syekh Yusuf.
3.      Menurut salah sebuah surat dari Mekkah, masuknya Islam di Mandar dibawa oleh Sayid Al Adiy yang merupakan keturunan dari Malik Ibrahim dari tanah Jawa.
4.      Masuknya islam di Mandar dibawa oleh Syekh Abdul Mannan yang dikenal dengan tosalamaq di salabose yang mengawali syiar islam di Kerajaan Banggae sekitar tahun 1608.
5.      Masuknya dan menyebarnya Islam di daerah lain seperti Mamuju, Sendana, Pamboang, dan Tappalang dibawa oleh Zaid Sakaria dan Kapuang Jawa. [18]
Namun, penyebaran Islam secara keseluruhan terjadi pada awal abad ke 17 ketika Kerajaan Gowa menerima Islam dan disebarkan ke seluruh jazirah Sulawesi Selatan termasuk daerah Mandar. Ada beberapa faktor penyebab Islam sangat mudah menyebar di tanah Mandar, yaitu:
1.      Strategi yang tepat dilakukan oleh para penyebar Islam yang terlebih dahulu mengislamkan rajanya. Hal seperti ini juga terjadi pada beberapa Kerajaan yang ada di daerah Jawa dan Sumatera. Pada saat itu mereka yang tidak menerima Islam akan diusir dari wilayah kerajaannya.
2.      Masyarakat Mandar sebelum islam telah mengenal konsep ketuhanan dalam kultur Mandar walaupun penyebutannya berbeda. Hal ini memudahkan para penyebar islam dalam memperkenalkan konsep tauhid dalam Islam.[19]

Masa Penjajahan sampai Terbentuknya Provinsi Sulawesi Barat
Indonesia (pada saat itu masih dikenal dengan nama Nusantara) mulai mendapat pengaruh dari Eropa ketika Portugis berhasil mengalahkan Kerajaan Malaka pada tahun 1511 dan diikuti oleh bangsa Spanyol pada tahun 1521. Selanjutnya, pada tahun 1595 ekspedisi Belanda pertama beragkat menuju Hindia Timur dengan membawa 4 buah Kapal dengan 249 Awak Kapal dan 64 pucuk Meriam dibawah pimpinan Cornelis de Houtmen. Pada bulan Juni 1596, pasukan Cornelis de Houtmen kemudian tiba pertama kali di Banten. [20]
Kedatangan bangsa-bangsa Eropa ke Indonesia bertujuan untuk menguasai rempah-rempah yang sangat melimpah. Belanda merupakan bangsa Eropa yang paling lama menancapkan hegemoninya di Indonesia dengan menguasai beberapa wilayah termasuk Pelabuhan-Pelabuhan yang sangat strategis yang menjadi pusat perekonomian di beberapa Kerajaan yang ada di berbagai wilayah Indonesia.
Keadaan ini menyebabkan banyaknya perusahaan-perusahaan milik Swasta Belanda yang datang ke Indonesia untuk mengusasi rempah-rempah dan menjualnya ke Eropa. Ada 4 perusahaan Belanda yang ada di Indonesia pada saat itu dan aroma persaingan diantara para perusahaan ini tidak bisa dihindari karena komoditi rempah-rempah yang di ekspor laku keras di pasaran Eropa. Keadaan ini menyebabkan pengiriman rempah-rempah ke Eropa meningkat pesat sehingga harga rempah-rempah di pasaran Eropa menurun. Keadaan ini menyebabkan keuntungan yang diperoleh Bangsa belanda juga ikut menurun.
Pada tahun 1598, parlemen Belanda mengajukan sebuah usulan agar perusahaan-perusahaan yang saling bersaing menggabungkan diri dalam satu perserikatan. Selanjutnya, pada bulan Maret 1602 perusahaan-perusahaan yang saling bersaing tersebut menggabungkan diri dan membentuk perserikatan Maskapai Hindia Timur yang biasa disebut VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) dan mempunyai wewenang untuk mendaftarkan personil atas dasar sumpah setia, melakukan peperangan, membangun benteng-benteng, dan mengadakan perjanjian-perjanjian di seluruh Asia. Selain itu, tujuan pembentukan kongsi dagang ini untuk memonopoli kegiatan perdagangan rempah-rempah.[21]
Kedatangan bangsa Belanda pertama kali di Makassar pada tahun 1607 ketika VOC mengirim utusannya bernama Abraham Matys ke Gowa dengan maksud agar Gowa mau membuka pelabuhannya untuk kapal-kapal Belanda serta Gowa harus segera menghentikan pengiriman beras ke Maluku. Permintaan ini langsung ditolak oleh Sultan Alauddin sebagai Raja Gowa dan penolakan ini membuat ketegangan antara kerajaan Gowa dan Belanda semakin meruncing sehingga bangsa Belanda berusaha menghalangi pelayar dari Makassar, Bugis, dan Mandar serta melakukan hasutan-hasutan kepada beberapa Raja di Indonesia Timur agar membangkang kepada Kerajaan Gowa. Namun, beberapa Kerajaan di Indonesia Timur menolak hasutan tersebut termasuk Kerajaan di Mandar. Kerajaan Mandar kemudian mengambil sikap untuk memihak kepada Kerajaan Gowa yang telah menjadi Sekutu sejak lama. [22]
            VOC telah menyebarkan benih-benih kebencian kepada masyarakat Indonesia. Kebencian tersebut mengakibatkan terjadinya perlawanan-peralawan rakyat kepada bangsa Belanda. Salah satu perlawanan ditunjukkan oleh Kerajaan Gowa ketika terjadi Perang Makassar. Dalam perang ini kerajaan Gowa mendapat dukungan dari pasukan Mandar sebanyak 1000 pasukan yang dipimpin oleh Mara’dia Balanipa I Daeng Mallari. Dalam pertempuran ini, Kerajaan Gowa mengalami kekalahan dan Mara’dia Balanipa tewas dalam pertempuran di Galesong pada 15 Agustus 1667. Perang ini dimenangkan oleh Belanda dengan Sekutunya Arung Palakka sehingga pihak dari Kerajaan Gowa menandatangani Perjanian Bungaya pada 18 November 1667.[23]    
Pada tahun 1669 datanglah 4 orang utusan dari Kerajaan Bone untuk menyampaikan pesan Raja Bone yang berbunyi “Kerajaan Gowa telah tumbang, tidak usah kita saling bunuh-membunuh, relakanlah hatimu bekerja sama dengan Bone, sama dengan kerelaanmu bekerja sama dengan Gowa”. Lalu perwakilan dari perSekutuan Pitu Ba’bana Binanga menjawab “apa yang orang Bone katakan, itu kami (Mandar) percaya, hanya saja kami belum bisa melakukan seperti apa yang diaharapkan oleh Bone, sebelum kami bertemu dengan Somba Gowa”. [24]
Jawaban dari perwakilan Pitu Ba’bana Binanga dapat sangat dimaklumi karena hubungan emosional yang terjalin antara Kerajaan Mandar dan Kerajaan Gowa dibangun sejak lama. Ini juga membuktikan bahwa Raja di Mandar sangat konsekuen terhadap janji ia katakan.
Utusan Raja Bone sangat kecewa mendengar jawaban tersebut. Sesampainya di Bone, ia segera menyampaikan jawaban dari Kerajaan Mandar kepada Arung Palakka. Jawaban dari Kerajaan Mandar sangat menyinggung Arung Palakka dan akhirnya ia menerima tawaran Belanda yang ditawarkan jauh sebelumnya untuk menyerang Mandar. Penyerangan kemudian dilakukan sebanyak 3 kali oleh kerajaan Bone dan Belanda namun ketiga penyerangan ini selalu digagalkan oleh pasukan gabungan dari Pitu Ba’bana Binanga. Setelah Belanda gagal menguasasi Mandar, maka berturut-turut Belanda berusaha menguasai Mandar akan tetapi selalu mendapat perlawanan dari rakyat Mandar hingga pada tahun 1890 Belanda akhirnya berhasil menguasai Kerajaan Balanipa yang merupakan pimpinan dari perSekutuan Pitu Ba’na Binanga.[25]
Setelah Mandar dikuasai oleh Belanda, perSekutuan Kerajaan yang tergabung dalam Pitu Ba’bana Binanga dan Pitu Ulunna Salu dimasukkan dalam satu organisasi pemerintahan yang disebut Afdeling Mandar yang berpusat di Majene sejak tahun 1906. Afdeling Mandar dibagi dalam 4 Onderafdeling yaitu Ondefafdeling Polewali, Onderafdeling, Mamasa, Onderafdeling, Majene, dan Onderafdeling Mamuju. Meskipun telah dikuasai oleh Belanda, namun beberapa Mara’dia di Kerajaan Mandar berserta rakyatnya tetap melakukan perlawanan sampai akhir pendudukan Belanda di Mandar. [26]
Pada tanggal 11 Januari 1942 Tentara Jepang pertama kali mendarat di Manado Sulawesi Utara dan Tarakan Kalimantan Timur. Tentara Jepang kemudian langsung melakukan pembersihan terhadap Tentara Belanda yang dilakukan berbulan-bulan. Pada tahun yang sama Bangsa Jepang menduduki daerah Sulawesi Selatan termasuk di daerah Mandar. Pada mulanya, kedatangan Bangsa Jepang di Mandar disambut baik oleh rakyat karena dianggap telah membebaskan mereka dari penjajahan Belanda. Bangsa jepang juga telah mempropogandakan bahwa mereka (Jepang) adalah saudara tua yang akan melindungi saudaranya dari penindasan bangsa kulit putih.[27]
Masa pendudukan Jepang berlangsung selama 3 tahun 5 bulam antara 1942-1945. Pada April 1944 Tentara Amerika bersama NICA telah mendarat di Irian Jaya dan selanjutnya tanggal 2 Mei Bendera Belanda mulai berkibar di Indonesia. Pada tanggal 6 Agustus bom Atom pertama dijatuhkan oleh Amerika Serikat di Hiroshima yang menewaskan sekitar 78.000 orang , 3 hari berselang bom kedua di jatuhkan di Nagasaki oleh Uni Soviet. Pemboman yang dilakukan oleh Amerika Serikat dan Uni Soviet telah menghancurleburkan kekuatan dari Jepang dan akhirnya Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu pada 15 agustus 1945.[28]
Selama pendudukan Jepang, pemerintah militer Jepang tidak mengubah sistem pemerintahan, kecuali perubahan nama-nama jabatan. Pemerintahan Provinsi disebut Minseibu, Afdeling atau Asisten Residen disebut  Ken Kanrikan, Onderafdeling atau Controleur disebut Bun Ken Kanrikan, Raja disebut Syutyo, Kepala Distrik disebut Guntyo, Kepala Kampung disebut Sontyo, H.B.A disebut Hosokan, Jaksa disebut Kensatsuk dan sebagainya.[29]
Menyerahnya Jepang kepada Sekutu membuat wilayah Indonesia memiliki kesempatan besar untuk memerdekakan diri dan pada akhirnya tanggal 17 Agustus 1945 Soekarno-Hatta atas nama seluruh bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaan bangsa Indonesia dan Bendera Merah Putih dikibarkan dan berkumandanglah lagu Indonesia Raya.
Republik Indonesia lahir namun tenntara Sekutu yang tampil sebagai pemenang tidak mengetahui apa saja yang terjadi di Indonesia selama masa perang berlangsung. Tentara Sekutu kemudian merencanakan pendaratannya ke Indonesia untuk menerima penyerahan Jepang dan memulihkan kembali kekuasaan Belanda di Indonesia.
Masa pendudukan Belanda kemudian kembali setalah Jepang menyerah kepada Sekutu. Pada periode ini, perjuangan rakyat Mandar dalam menentang penjajahan sangat berbeda dengan periode sebelumnya. Perjuangan yang dilakukan bukan hanya ingin membebaskan wilayah Mandar dari penjajahan, namun lebih luas lagi untuk mempertahankan proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Perlu diketahui, pada masa revolusi (1945-1949) perjuangan yang dilakukan bangsa Indonesia tidak lagi bersifat kedaerahan namun bersifat nasional dengan pekikan “Merdeka atau Mati”
Setelah perang kemerdekaan berlangsung, bangsa Belanda menyetujui untuk memberikan kedaulatan kepada Indonesia melalui Konferensi Meja Bundar dengan syarat-syarat tertentu. Afdeling Mandar yang berisi Onderafdeling Polewali, Onderafdeling Mamasa, Onderafdeling Majene, dan Onderafdeling Mamuju kemudian dimasukkan dalam daerah tingkat II Provinsi Sulawesi Selatan. Daerah tingkat II tersebut adalah Kabupaten Polmas, Kabupaten Majene, dan Kabupaten Mamuju.
Undang-Undang tentang pemerintahan daerah yang dikeluarkan pemerintah memberikan kesempatan kepada daerah Mandar untuk memisahkan diri dengan Provinsi Sulawesi Selatan. Peluang ini kemudian dimanfaatkan oleh beberapa tokoh Sipamandar antara lain Husni Djamaluddin, Ma’mun Hasanuddin, Rahmat Hasanuddin, Rosmiani Ahmad dan kawan-kawan mempelopori dan melakukan kampanye menyangkut pembentukan Provinsi baru. Untuk mengorganisir perjuangan dengan baik, maka Forum Sipamandar membentuk Komite Aksi Pembentukan Provinsi Sulawesi Barat (KAPP-SULBAR) pada tanggal 9 september 1998. [30]
Langkah awal yang dilakukan organisasi ini adalah menyususn pokok-pokok pikiran menyangkut pembentukan Provinsi Sulawesi Barat. Untuk mensosialisasikan perjuangan maka KAPP-SULBAR membentuk kelompok kerja (Pokja) di 3 kabupaten yaitu kabupaten Polewali Mamasa yang dikoordinir oleh Drs. Syahrir Hamdani, Kabupaten Majene dikoordinir oleh Muhammad Jafar, Kabupaten Mamuju dikoordinir oleh A. Ruchul Thahir.[31] Ketiga Pokja ini kemudian melakukan sosialisasi di kabupatennya masing-masing untuk mendapatkan dukungan dalam pembentukan Provinsi Sulawesi Barat.
Kampanye dan usaha yang dilakukan oleh para pejuang pembentukan Sulawesi Barat mendapatkan lampu hijau ketika pada tahun 2002 sembilan Fraksi di DPR RI menyatakan mendukung dan setuju Provinsi Sulawesi Barat dimekarkan. Keputusan pembentukan Provinsi Sulawesi Barat akhirnya resmi ditetapkan oleh pemerintah dengan ditandatanganinya Undang-Undang Nomor 26 tahun 2004 tentang Provinsi Sulawesi Barat pada tanggal 5 oktober 2004 serta memberikan beban kepada Provinsi Sulawesi selatan untuk memberikan bantuan dana kepada pemerintah Provinsi Sulawesi Barat sebanyak Rp. 8.000.000.000,- dalam kurun waktu 2 tahun. Pada tanggal 16 oktober 2004 Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden Indonesia meresmikan pembentukan Provinsi Sulawesi Barat di Mamuju dengan pelaksana tugas sementara Gubernur Oentarto Sindung Mawarni. Kurang lebih 2 tahun kemudian dilaksanakan pemilihan gubernur Sulawesi Barat dan dimenangkan oleh Anwar Adnan Saleh yang memerintah antara 2006-2011. [32]





[1] Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Barat tahun 2012
[2] Syaiful Sinrang, mengenal Mandar sekilas lintas perjuangan rakyat Mandar melawan Belanda (1667-1949), Ujung Pandang, 1994, hlm. 1-2.
[3] Istilah Tomakaka berasal dari kata “tau”  yang artinya orang dan “kaka” artinya kakak yang jika digabung kedua kata tersebut berarti orang yang kakak atau orang yang terdahulu. Bagi masyarakat Mandar, Tomakaka tidak hanya diartikan sebagai orang yang terdahulu namun maknanya lebih dalam dan simbolik pada konotasinya apabila kata “kaka” itu mendapat awalan “ma” sehingga menjadi “makaka”dibelakang kata “to”. Jadi bagi masyarakat Mandar Tomakaka berarti orang yang dituakan atau orang yang diangkat dalam jabatan sebagai ketua atau pemimpin. Selengkapnya lihat Tanawali Aziz Syah, Sejarah Mandar Jilid III, Ujung Pandang:1998, hlm. 57-59.
[4] St. Junaeda, Nasionalisme Masyarakat Mandar, Makassar, 2013, hlm. 23-24; Muhammad Amir, Kelaskaran di Mandar Sulawesi Barat, Makassar, 2010, hlm. 43
[5] W.J Leyds, Memori van Overgave, Assistent Resident Mandar,Majene, 1940, hlm. 24-25. lihat Muhammad Amir, Kelaskaran di Mandar Sulawesi Barat, Makassar, 2010,  hlm. 43-45
[6] Edward L. Poelinggomang, Sejarah dan Budaya Sulawesi Barat, Makassar, 2012, hlm. 27-28
[7] Muhammad Amir, Kelaskaran di Mandar Sulawesi Barat, Makassar, 2010, hlm. 46
[8] Edward L. Poelinggomang, Sejarah dan Budaya Sulawesi Barat, Makassar, 2012, hlm. 28-29
[9] I Manyambungi merupakan Raja pertama Kerajaan Balanipa. Semasa kecil ia berangkat berlayar ke Kerajaan Gowa dan tinggal di Kerajaan Gowa selama 20 tahun dan menjadi panglima Perang di Kerajaan Gowa. Lihat Syaiful Sinrang, Mengenal Mandar Sekilas Lintas Perjuangan Rakyat Mandar Melawan Belanda, Ujung Pandang, 1994, hlm. 10-11
[10] Ibid hlm. 30-31
[11] Amir Sjarifuddin, Perjanjian Antarkerajaan Menurut Lontarak. Desertasi (belum diterbitkan) Fakultas Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin, 1989, hlm. 278-279. Lihat Edward L. Poelinggomang, Sejarah dan Budaya Sulawesi Barat, Makassar, 2012, hlm 31-32
[12] Ibid., hlm 33

[13] Syaiful Sinrang, mengenal Mandar sekilas lintas perjuangan rakyat Mandar melawan Belanda (1667-1949), Ujung Pandang, 1994, hlm. 50-52
[14] I Daetta merupakan raja Balanipa selanjutnya setelah Tomepayug mangkat dari jabatannya yang memerintah antara tahun 1608-1620
[15] Pitu Ulunna Salu merupakan kumpulan 7 kerajaan yang berada di hulu sungai atau pegunungan. Belum ada fakta yang jelas tentang kapan pembentukan konfederasi Pitu Ulunna Salu. Namun Muhammad Amir dan Sahajuddin mengatakan bahwa persekutuan ini terbentuk pada abad ke 16. Adapun kerajaan yang tergabung dalam persekutuan ini adalah Kerajaan Rantebulahan, Aralle, Mambi, Bambang, Matangnga, Messawa, dan Tabulahan. Lihat Edward L. Poelinggomang, Sejarah dan Budaya Sulawesi Barat, Makassar, 2012, hlm. 51-52
[16] Sumber lain mengatakan bahwa perjanjian Tammejarra II dilakukan pada masa pemerintahan Tomepayung. Lihat  Syaiful Sinrang, mengenal Mandar sekilas lintas perjuangan rakyat Mandar melawan Belanda (1667-1949), Ujung Pandang, 1994, hlm. 55-57; Edward L. Poelinggomang, Sejarah dan Budaya Sulawesi Barat, Makassar, 2012, hlm. 57-58
[17] Mengenai ajaran ini lihat Tanawali Aziz Syah, Sejarah Mandar Jilid III, Ujung Pandang, 1998, hlm. 81-84
[18]Suradi Yasil dkk, Warisan Salabose, Majene:2013, hlm. 41; Edward L. Poelinggomang, Sejarah dan Budaya Sulawesi Barat, Makassar, 2012, hlm. 93-94
[19] Tanawali Aziz Syah, Sejarah Mandar Jilid III, Ujung Pandang, 1998, hlm.91-94
[20] M.C Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, Yogyakarta, 1992, hlm. 33-38
[21] Ibid., hlm. 39-40
[22]  Ahmad dan Marjanah, Sejarah Mandar dan Sejarah Perjuangan Bangsa di Kabupaten Majene, Majen, 2007, hlm. 79
[23] Edward L. Poelinggomang, Sejarah dan Budaya Sulawesi Barat, Makassar, 2012, hlm.99-100
[24] Syaiful Sinrang, mengenal Mandar sekilas lintas perjuangan rakyat Mandar melawan Belanda (1667-1949), Ujung Pandang, 1994, hlm. 91
[25]  Ahmad Asdy, Tragedi Berdarah Korban 40.000 Jiwa di Mandar, Majene, 2007, hlm. 8-9 ; [25] Syaiful Sinrang, mengenal Mandar sekilas lintas perjuangan rakyat Mandar melawan Belanda (1667-1949), Ujung Pandang, 1994, hlm. 92
[26] Muhammad Amir, Kelaskaran di Mandar Sulawesi Barat, Makassar, 2010, hlm. 46-47
[27]Abd. Rahman, Mandar dalam Arus Revolusi, Majene, hlm. 12
[28] M.C Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, Yogyakarta, 1992, hlm. 314-315.
[29] Syaiful Sinrang, mengenal Mandar sekilas lintas perjuangan rakyat Mandar melawan Belanda (1667-1949), Ujung Pandang, 1994, hlm. 295; Muhammad Amir, Kelaskaran di Mandar Sulawesi Barat, Makassar, 2010, hlm. 47; Edward L. Poelinggomang, Sejarah dan Budaya Sulawesi Barat, Makassar, 2012, hlm.108

5 komentar:


  1. keren mantap tulisanya.... jadi sedikit tahu sejarah mandar

    BalasHapus
    Balasan
    1. terima kasih Ridwan sajal, semoga dapat bermanfaat dan menjadi salah satu sumber rujukan untuk sedikit mengetahui sejarah singkat mendar

      Hapus
  2. Barusan dengar versi ini,maaf bru tahu juga klu ada Anak Pongkapadang yang bernama Tobabina itu anak keberapanya,dan mandar Bagian mana itu Tmakaka ulu sa'dan dan Tomakaka Rante Bulahan.

    BalasHapus
  3. Iyee tdk apa2, tulisan ada media qt berkomunikasi dan sejarah mandar adalah objek komunikasi. Saya selalu senang untuk berdiskusi walaupun berbeda pendapat. Jika ada perbedaan data, mari berdiskusi krn kebenaran sejarah masih bisa qt perdebatkan jika ada data baru yg lebih akurat. Mengenai pertanyaan saudara, saya telah cantumkan food note nya. Jdi data yg saya ambil adalah data dri buku2 yg ditulis oleh sejarawan. Silahkan di cek buku tersebut.

    BalasHapus
  4. Mungkin yang benar 40 tomakaka karna ulu sa'dang itu ada di toraja.

    BalasHapus