Minggu, 29 Juni 2014

ANTARA KEBUDAYAAN BARAT VS KEBUDAYAAN TIMUR



Kebudayaan merupakan hasil cipta, karsa, dan rasa manusia dimana dalam sebuah kebudayaan mengandung nilai dan norma yang diikuti oleh setiap masyarakat yang mendiami sebuah tempat.
Seperti yang kita ketahui, bahwa masyarakat dulu/ tempo doeloe sudah menciptakan kebudayaan, baik kebudayaan yang bersifat umum maupun yang bersifat khusus. Dari perjalanan manusia menempuh waktu tentunya kebudayaan asli negara kita ini mendapat kendala dari kebudayaan luar yaitu kebudayaan barat itu sendiri. di satu sisi kebudayaan luar memberikan dampak yang sangat baik  bagi perkembangan dan pertumbuhan bangsa kita, akan tetapi di sisi lain dapat membawa kebobrokan moral bangsa akibat sikap-sikap modernitas yang terlalu berlebihan.

Seiring dengan perkembangan zaman, budaya timur yang dimiliki oleh bangsa indonesia mulai tergeser dengan budaya baru yang di bawah oleh bangsa barat yang datang ke indonesia. Hal ini dapat dilihat dengan lunturnya sikap gotong royong, cara berpakaian yang kerap meniru tren dari barat dan lain-lain. Para mahasiswa  kalau kita tanya “apakah anda masih menjunjung tinggi nilai siri’? mereka akan menjawab “ya, tentu saja karena itu merupakan kebudayaan saya”, tapi pada kenyataannya apa yang mereka katakan  berbanding terbalik dengan apa yang mereka lakukan. Mereka  mengikuti tren barat,fashion barat, berfoto dengan gaya alay yang diciptakan oleh orang barat, menggunakan gelang,kalung,anting-anting yang berasal dari bangsa yahudi dan herannya orang-orang  memakai dasi ketika mereka bekerja, baik di kantor atau institut pendidikan  padahal itu merupakan kebudayaan dari barat. SUNGGUH ANEH NEGERI INI

Kami  teringat salah satu perkataan dosen sejarah yang  megatakan bahwa sudah tidak ada lagi budaya bugis, budaya mandar dan budaya makassar. Sekarang cuma ada budaya orang bugis, budaya orang mandar, dan budaya orang makassar. Kami sepakat dengan pernyataan tersebut karena melihat realita yang terjadi di dalam masyarakat dan bukan melihat apa yang dikatakan masyarakat. Melalui tulisan ini kami akan berusaha memberikan opini terhadap permasalah tersebut.

Di dalam sebuah  negara khususnya di negara kita ini, kebudayaan yang telah diciptakan oleh nenek moyang kita harus di jaga dengan baik agar  identitas dan moral bangsa bisa terjaga dengan baik. Akan tetapi, jika kita terus mempertahankan kebudayaan asli  yang dimiliki oleh bangsa kita ini jangan harap bangsa indonesia akan berkembang dan maju karena kita akan terisolasi dari dunia luar. Dengan masuknya budaya luar (barat)  ke indonesia akan terjadi sebuah perpaduan budaya dan akan menghasilkan sebuah peradaban yang tinggi sehingga terjadi perubahan gaya hidup masyarakat ke arah yang lebih praktis. Akan tetapi di samping itu semua akan terjadi sebuah kemunduran nilai dan moral akibat gaya hidup yang terlampau mewah tanpa mengidahkan nilai dan moral yang ada di dalam masyarakat.

Dari pernyataan tersebut dapat di tarik kesimpulan bahwa dengan adanya kebudayaan baru, lambat laun kebudayaan lama yang di anut oleh masyarakat akan ditinggalkan dengan sendirinya karena menganggap bahwa budaya yang lama sudah tidak membawa manfaat bagi mereka.

Sekarang timbul sebuah pertanyaan, apakah kita masih membutuhkan kebudayaan asli yang di anut oleh nenek moyang kita ataukah meninggalkan budaya lama dan memakai budaya baru demi kemajuan bangsa indonesia?

Sekarang kita melihat fenomena yang terjadi di masyarakat bahwa orang-orang mulai meninggalkan sikap modernitas dan kembali ke sikap-sikap yang lama yang telah mereka tinggalkan. sekarang banyak orang-orang yang mulai mencari tempat yang masih asri, jauh dari teknologi, dan terasing.

Apakah ini sebuah kemunduran dari sebuah peradaban dan kita akan kembali ke pola-pola hidup seperti zaman dulu?
Kami akan mencoba menjawab pertanyaan tersebut melalui tulisan kami berikutnya.......


BY STUDY CLUB “PENDIDIKAN SEJARAH”
ANGKATAN 2010



****TERIMA KASIH****
HISTORIA MAGISTRAVITAE


Sabtu, 28 Juni 2014

USULAN PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA Kajian Historis :Komunis di Tanah Mandar (Suatu Kajian tentang pembersihan PKI di Kabupaten Polewali Mandar, Provinsi Sulawesi Barat)

BAB I
PENDAHULUAN
Istilah Komunisme berasal dari bahasa latin “Communal” artinya “milik bersama”. Istilah ini berakar dari pemikiran Karl Marx yang diterjemahkan oleh Lenin[1]. Sneevliet  masuk ke Indonesia pada tahun 1913 dan mendirikan sebuah perkumpulan bernama ISDV (Indische Sociaal Democratische Vereeniging) pada tahun 1914. Pada perkembangan berikutnya ISDV berubah menjadi PKI (Partai Komunis Indonesia) pada bulan Mei tahun 1920[2] . Paham ini kemudian sangat cepat berkembang di Indonesia dengan anggota yang tersebar di berbagai daerah yang ada di Indonesia. Pada masa pergerakan, organisasi ini menjadi salah satu organisasi radikal dalam memperoleh kemerdekaan. Ia (Sneevliet) adalah bekas ketua secretariat buruh nasional dan bekas pimpinan partai revolusioner sosialis di salah satu provinsi di negeri belanda[3] .
Ajaran Lenin menekankan pada petani sebagai kelas revolusioner dengan basis pendukung pada rakyat miskin kota. Pada perkembangannya PKI kemudian mengubah basis mereka dengan merubah haluan dengan basis petani, buruh, dan rakyat miskin kota . Pada kongres nasional V bulan Oktober 1954, PKI kemudian menyusun suatu program agrarian dimana untuk orang miskin, petani kecil, dan petani menengah serta buruh dapat diciptakan aliansi dengan PKI. Pimpinan PKI menyatakan pentingnya aliansi ini sebagai jalan menuju revolusi agrarian. Oleh karena itu bagi PKI kerjasama dengan petani adalah sesuatu yang sangat penting[4]. Paham ini kemudian sangat cepat berkembang di Indonesia dengan anggota yang tersebar di berbagai daerah yang ada di Indonesia. Pada masa pergerakan, organisasi ini menjadi salah satu organisasi radikal dalam memperoleh kemerdekaan.
Dalam perkembangannya, paham Komunis berhasil menjadi sebuah partai yang memiliki banyak pendukung dan simpatisan di berbagai daerah di Indonesia termasuk di Sulawesi Selatan. Makassar yang di kenal sebagai kota pelabuhan berpuluh-puluh pedagang singgah, berdagang, hingga bertempat tinggal di Makassar menyebabakan arus pergerakan nasional juga menampakkan wajahnya. Dalam buku yang ditulis oleh Taufik, bahwa pada tahun 1916 organisasi syarikat Islam adalah organisasi yang pertama kali menapakkan jejaknya di “Butta Daeng” ini, yang pemimpinnya kala itu adalah Ince Abdurrahman, Ince Tajuddin, Ince Taswin dan Burhanuddin. Kemudian di susul oleh Muhammadiyah membuka cabangnya di Makassar pada tahun 1926 lewat seorang pedagang batik asal Surabaya, yakni KH. Abdullah dan Mansyur al-Yamami. Kemudian PKI juga mulai membuka cabangnya di Makassar
Pada tahun 1922, PKI telah menanamkan pengaruhnya dan melakukan propaganda dan menyebarluaskan program-programnya dengan memakai corong “Pemberita Makassar”. Dengan surat kabar ini, PKI dengan langkah pasti menggemakan ajaran-ajarannya yang melawan penindasan atas kolonial Belanda. Melakukan pendidikan politik kepada rakyat Sulawesi Selatan untuk bersama-sama, bergerak-berbareng dalam melawan dan mengusir penjajah. PKI cabang Makassar ini diakui dan menjadi utusan di antara empat cabang dari luar pulau Jawa dalam konggres kesembilan partai ini.
Pada tahun 1953, PKI cabang Makassar belum dapat memberikan pengaruh besar terhadap warga masyarakat Sulawsesi Selatan pada umumnya, dan warga Makassar pada khususnya. Hal ini didasari oleh kuatnya control aparat pemerintah dan berkembangnya DI/TII pimpinan Kahar Muzakkar yang merupakan “anti-tesa” dari PKI tersebut. Tergerusnya ruang publik bagi PKI di Sulawesi Selatan menjadikan partai ini “melunakkan” propagandanya dengan menjelaskan lebih awal bahwa lambang palu, arit dan kembang bunga di bendera PKI dapat diartikan buruh (palu), petani (arit) dan kemakmuran (kembang bunga).
Walaupun giat melakukan propaganda turun ke grass-root, ternyata hasil perolehan suara pada pemilu pertama 1955 tidak signifikan. Hasil perolehan suara menunjukkan PKI berada pada urutan 4 setelah PNI, Masyumi, NU. Sedangkan hasil perolehan suara di Sulawesi Selatan, PKI berada pada urutan ke-10 dengan jumlah suara 17. 831 atau 1, 6 persen, tak mendapatkan kursi di dewan legislatif. Sedangkan pada tahun 1961, susunan DPR-GR menempatkan utusan PKI satu orang yang diwakili oleh Aminuddin Muchlis. Awalnya, pada tahun 1960 telah disahkan UU PA dan UU PBH yang mana di daerah-daerah telah terjadi aksi sepihak PKI dalam melakukan pembagian tanah negara kepada para petani penggarap. Aksi sepihak ini memicu konflik keras antara tuan tanah dengan para petani, sehingga pimpinan pesantren Darul Da’wah Wa Al-Irsyad (DDI) KH. Ambo Dalle dalam muktamarnya di Makassar menyatakan kepada pemerintah untuk membubarkan PKI dan ormas-ormasnya karena telah memicu pertentangan di tengah-tengah masyarakat.
Gerakan yang dilakukan PKI menyisakan luka yang mendalam bagi para korban[5].  Terkhusus gerakan tiga puluh september (Gestapu) yang terjadi di Jakarta tahun 1965 pada dini hari tanggal 1 Oktober, dimana 6 Jenderal dan 1 ajudan utama Nasution diculik, disiksa dan dibunuh secara kejam oleh anggota PKI. Namun kejadian setalah atau pasca Gestapu jauh lebih kejam dan memprihatinkan dimana ratusan ribu jiwa melayang termasuk anggota PKI, orang-orang yang dituduh PKI, dan orang-orang yang di PKI-kan akibat dari pembersihan sisa-sisa PKI di berbagai daerah yang ada di Indonesia.
Gerakan PKI yang terjadi di Jakarta berimbas di berbagai daerah yang ada di Indonesia, termasuk di Sulawesi Selatan dan Tenggara. Papelrada Sulawesi Selatan dan Tenggara pada 25 oktober 1965 memutuskan untuk membekukan sementara kegiatan PKI dan ormas-ormasnya di wilayah hukum Sulawesi selatan dan tenggara[6].
Di daerah Polewali Mamasa[7] dimana banyak orang-orang PKI dan orang-orang yang dituduh PKI diasingkan dan di penjara tanpa diadili. Ini terbukti dengan ditangkapnya puluhan orang yang terlibat PKI atau dianggap terlibat oleh PKI.[8] Mereka banyak mendapatkan siksaan baik fisik maupun mental. Para eks Komunis atau mereka yang dituduh  Komunis mendapat perlakuan yang berbeda dibanding masyarakat lain, misalnya pelarangan bagi orang yang terlibat PKI ataupun yang dituduh PKI untuk masuk ke dalam pemerintahan, diskriminasi dalam mendapatkan pendidikan dan lain-lain.  Kondisi ini terjadi hingga saat ini dimana para eks PKI atau mereka yang dituduh PKI belum mendapat perhatian dari pemerintah.
Dalam penelitian ini, peneliti akan berusaha melihat kejadian ini dari kacamata yang berbeda agar tidak ada yang menjadi tumbal dari kejadian ini dengan mengkaji dampak yang ditimbulkan dari gerakan ini di daerah Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Setelah itu, peneliti akan berusaha memberikan pengarahan kepada seluruh masyarakat khususnya pemerintah daerah agar ada persamaan hak diantara mereka serta berusaha agar terjadi interaksi yang lebih rukun antar sesama warga masyarakat demi mewujudkan cita-cita bangsa yang tercantum pada Pancasila.





















BAB II
 TINJAUAN PUSTAKA
            Dalam judul penelitian ini terdapat 2 kata kunci yaitu paham Komunisme dan Partai Komunis Indonesia. Komunisme adalah sebuah ideologi. Penganut paham ini berasal dari Manifest der Kommunistischen yang ditulis oleh Karl Marx dan Friedrich Engels, sebuah manifestopolitik yang pertama kali diterbitkan pada 21 Februari 1848 teori mengenai komunis sebuah analisis pendekatan kepada perjuangan kelas (sejarah dan masa kini) dan ekonomi kesejahteraan yang kemudian pernah menjadi salah satu gerakan yang paling berpengaruh dalam dunia politik.
Komunisme pada awal kelahiran adalah sebuah koreksi terhadap paham kapitalisme di awal abad ke-19, dalam suasana yang menganggap bahwa kaum buruh dan pekerja tani hanyalah bagian dari produksi dan yang lebih mementingkan kesejahteraan ekonomi. Akan tetapi, dalam perkembangan selanjutnya, muncul beberapa faksi internal dalam komunisme antara penganut komunis teori dan komunis revolusioner yang masing-masing mempunyai teori dan cara perjuangan yang berbeda dalam pencapaian masyarakat sosialis untuk menuju dengan apa yang disebutnya sebagai masyarakat utopia. Dalam komunisme perubahan sosial harus dimulai dari pengambil alihan alat-alat produksi melalui peran Partai Komunis. Logika secara ringkasnya, perubahan sosial dimulai dari buruh atau yang lebih dikenal dengan proletar [9].
Partai Komunis Indonesia merupakan sebuah partai yang berkembang dari sebuah perkumpulan bernama (Indische Sociaal Democratische Vereeniging). Partai ini resmi terbentuk pada bulan Mei tahun 1920.  Pada awal 1920, ISDV menerima surat dari Haring (nama samaran Sneevliet, yang sebelumnya di usir Belanda) di Shanghai, yang menganjurkan agar ISDV menjadi anggota Komunis Internasional (Komintern). Untuk itu harus dipenuhi 21 syarat, antara lain memakai nama terang partai komunis dan menyebut nama negaranya.
Akhirnya pada tanggal 23 Mei 1920, para aktivis ISDV seperti Semaoen,Darsono (juga anggota Serikat Islam) dan Douwes Dekker, memutuskan untuk mengganti nama ISDV menjadi Perserikatan Komunis Hindia. Semaoen dipilih sebagai ketua, dan Darsono wakil ketua, Bergsma sekretaris, dan Dekker menjadi bendahara.
Secara formalnya Perserikatan Komunis Di Hindia memang lanjutan dari ISDV, yang sebagian anggotanya masih tercatat sebagai anggota Sarikat Islam (Semarang).Seiring  perkembangannya, Perserikatan Komunis Di Hindia berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia, dengan alasan, nama “Partai Komunis Indonesia” menurut mereka lebih mencerminkan prinsip perjuangan partai itu.
Seperti yang tertulis dalam diktat untuk KPS dan KPSS tentang "Pembangunan Partai" yang disusun oleh Depagitprop CC PKI di Jakarta 1958, bahwa “Lahirnja PKI merupakan peristiwa jang sangat penting bagi perdjuangan kemerdekaan Rakjat Indonesia. Pemberontakan kaum tani jang tidak teratur dan bersifat perdjuangan se-daerah atau se-suku dalam melawan imperialisme Belanda, jang terusmenerus mengalami kegagalan, sedjak PKI berdiri, mendjadi diganti dengan perdjuangan proletariat jang terorganisasi dan jang memimpin perdjuangan kaum tani dan gerakan revolusioner lainnja”.
Mengingat penelitian ini membahas tentang PKI dan pergerakannya di Indonesia terkhusus pada peistiwa pasca Gerakan 30 Puluh September maka beberapa pustaka dibutuhkan untuk mendukung penelitian ini seperti buku karya taufik dengan judul Camp Pengasingan Moncongloe yang menceritakan tentang muncul dan berkembangnya PKI di Sulawesi Selatan, mengutarakan tentang tahanan politik di Moncongloe dan pembebasannya. Adapun beberapa buku, juga akan digunakan untuk mengungkap kejadian sekitar gerakan 30 September dengan mengkaji berbagai teori tentang keterlibatan beberapa pihak, seperi buku karya Kerstin Beibese yang berjudul “Apakah Soekarno Terlibat Peristiwa G30S” dan beberapa buku lain yang berhubungan dengan kejadian ini.
Secara mendalam penelitian ini akan menggunakan sumber-sumber arsip, koran, catatan pribadi dan sumber tulisan lain yang berhubungan dengan dampak yang ditimbukan dari gerakan ini. Untuk menjadi perbandingan, penelitian ini juga akan menggunakan sumber lisan yang didapat dari bekas tahanan Komunis ataupun pihak pemerintah yang mengeluarkan aturan tentang penahanan orang-orang PKI atau mereka yang dutuduh PKI.  


BAB III
 METODE PENELITIAN
Pada umumnya yang disebut metode adalah cara atau prosedur untuk mendapatkan objek. Juga dikatakan bahwa metode adalah cara untuk berbuat atau mengerjakan sesuatu dalam suatu sistem yang terencana dan teratur. Jadi, metode selalu erat hubungannya dengan prosedur, proses, atau tekhnik yang sistematis untuk melakukan penelitian disiplin tertentu. Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan objek peneliian. [10]
Untuk menjawab substansi masalah berdasarkan rumusan masalah, maka diperlukan adanya suatu metode peneltian pada hakekatnya dapat menggunakan berbagai macam cara atau metode. Penggunaan metode tersebut, tergantung dari tujuan penelitian, sifat masalahnya yang akan digarap dan berbagai alternatif yang akan digunakan.
Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah: (1)heuristik, yaitu menghimpun jejak-jejak masa lampau. (2) kitik sumber, yaitu menyelidiki apakah jejak-jejak masa lampau itu baik bentuk dan isinya. (3) interpretasi,  yaitu menempatkan makna dan saling berhubungan dari fakta-fakta yang diperoleh. (4) historiografi, yaitu penyajian atau menyampaikan sintesa yang diperoleh dalam bentuk kisah sejarah. 6
1.      Heuristik ( Tahap Mencari Sumber)
Kemampuan menemukan dan menghimpun sumber-sumber yang diperlukan dalam penulisan sejarah biasa dikenal sebagai tahap heuristik. Dibutuhkan keuletan tersendiri disamping bekal metodologi yang mantap agar seseorang peneliti mampu menemukan bahan-bahan tertulis karena tiadanya dokumen berarti tiada sejarah serta menemukan sumber lisan yang didapat dari para pelaku yang terlibat dalam PKI.  Dokumen yang dimaksud adalah beberapa arsip pemerintah daerah tingkat II Polewali Mamasa yang memuat tentang aturan tentang pembersihan orang yang diduga Komunis di dalam pemerintahan, dokumen yang lain adalah surat kabar yang dipakai PKI di Sulawesi Selatan  untuk meluaskan pengaruhnya serta buku-buku yang terkait tentang PKI di Sulawesi Selatan diantaranya karya dari Taufik Abdullah yang berjudul Kamp Pengasingan Moncongloe. Selain sumber tertulis, peneliti akan menggunakan sumber lisan yang didapatkan dari para pelaku atau orang-orang yang dituduh PKI.
2.       Kritik Sumber
Ada yang mencoba menyatukan “tahap analisis” dan “tahap sintesis” dalam peneliian sejarah karena kaitan keduanya tampak sangat erat sekali. Dalam tahap analisis sebenarnya dikenakan dua macam kritik yaitu kritik ekstren dan kritik intern. Kritik ekstren mencoba menjawab tiga pertanyaan yaitu mengkaji kesejatian, keaslian, atau keotentikan sumber-sumber yang ada sedangkan kritik intern dilakukan setelah kitik ekstern dilakukan yang mencoba mengkaji seberapa jauhkah kesaksian sumber yang telah lolos tadi dapat dipercaya. Pada tahap ini peneliti akan membandingkan data yang didapat dari beberapa dokumen tertulis, baik arsip, surat kabar, ataupun buku-buku terkait dengan sumber lisan yang didapat dari para pelaku dan orang-orang yang dituduh PKI .
3.      Interpetasi
Sumber-sumber yang telah lolos dari kritik, kemudian dilakukan suatu penafsiran dari bahan-bahan tadi. Dalam tahap ini telah dapat ditetapkan dari fakta-fakta yang teruji dari data yang didapat baik berupa dokumen ataupun wawancara dengan pelaku. Dalam tahap ini subjektivitas peneliti tampak mulai berperan.
4.      Historiografi (Penyajian)
Dalam tahap terakhir ini, peneliti menyampaikan sintesis yang diperoleh dalam bentuk karya sejarah. Dalam tahap ini, diperlukan kemampuan khusus, yaitu kemampuan mengarang. Bagaimana agar fakta-fakta sejarah yang sudah benar-benar terpilih tetapi masih bersifat fragmentaris itu dapat menjadi suatu sajian yang besifat utuh, sistemais, dan komunikatif. Mudah dimengerti bila dalam tahap ini dipelukan suatu imajinasi historis yang baik.[11]
Penelitian ini nantinya akan menghasilkan artikel ilmiah yang diharapkan dapat menjadi obat bagi para eks tapol Komunis untuk mendapatkan hak yang sama baik dalam politik, pendidikan dan lain-lain untuk mewujudkan cita-cita bangsa dalam berdemokrasi dan menciptakan hak yang sama di dalam masyarakat sesuai dengan hak asasi manusia.



BAB IV
BIAYA DAN JADWAL KEGIATAN
A.    Ringkasan Anggaran Biaya
Tabel 1. Ringkasan Anggaran Biaya
No
Jenis Pengeluaran
Biaya (Rp)
1
Peralatan Penunjang
2.700.000,-
2
Bahan Habis Pakai
728.000
3
Perjalanan
3.760.000,-
4
Bahan Penelitian
1.150.000,- 
5
Dokumentasi dan Publikasi
1.800.000,-
6
Lain-lain
1.500.000,-
Jumlah (Rp)
   11.638.000,-

Adapun rincian biaya kegiatan terlampir
B.     Jadwal Kegiatan
Tabel 2. Jadwal Kegiatan
No
Jenis Kegiatan
Januari
Februari
Maret
1
2
3
4
1
2
3
4
1
2
3
4
1
Penyiapan Alat dan Bahan
X
X










2
Pengumpulan Data (Heuristik)


X
X
X
X






3
Kritik Sumber




X
X






4
Interpretasi






X
X
X
X


5
Penulisan Laporan








X
X
X
X





DAFTAR PUSTAKA
Beise, Kerstin, 2004, Apakah Soekarno Terlibat Peristiwa G30S, Yogyakarta: Ombak.
Badan Arsip Dan Perpustakaan Daerah Perwakilan Provinsi Sulawesi Selatan : Inventaris Arsip Pemerintah Daerah Tingkat II Polmas 1918-1983.

Djamhari, S. As’ad, dkk. 2009. Komunisme di Indonesia jilid I, Jakarta: Pusjarah TNI bekerja sama dengan yayasan kajian citra bangsa (YKCB).

Djamhari, S. As’ad, dkk. 2009. Komunisme di Indonesia jilid II, Jakarta: Pusjarah TNI bekerja sama dengan yayasan kajian citra bangsa (YKCB).
Djamhari, S. As’ad, dkk. 2009. Komunisme di Indonesia jilid IV, Jakarta: Pusjarah TNI bekerja sama dengan yayasan kajian citra bangsa (YKCB).
Kuntowijoyo, 1995, Pengantar Ilmu Sejarah, Yogyakarta: BENTANG W.
Nugroho Notosusanto,1978, metode penelitian sejarah kontemprer. Jakarta: Idayu.
Pranoto, Suhartono, 2010, Teori & Metodologi Sejarah, Yogyakarta: Graha Ilmu.
Rochmat, Saefur, 2009, Ilmu Sejarah dalam Pespektif Ilmu Sosial, Yogyakarta: Graha Ilmu.
Taufik, 2009, Kamp pengasingan Moncongloe. Jakarta:Desantara Foundation dan LAPAR.



[1] Lihat Antoni Brewer, Kajian Kritis DAS Kapital Karl Marx (Jakarta:TePLOK Press:2000)
[2] Sebelum berubah menjadi PKI, organisasi ini bernama PKH (Partai Kerakyatan Hindia)
[3] Saleh As’ad Djamhari dkk, Komunisme di Indonesia jilid I,(Jakarta:Pusjarah TNI bekerja sama dengan Yayasan kajian citra bangsa (YKCB):2009 ), hlm 19.
[4] Saleh As’ad Djamhari dkk, Komunisme di Indonesia jilid II,(Jakarta: Pusjarah TNI bekerjasama dengan yaysan Kajian citra bangsa (YKCB):2009), hlm. 66-67
[5] Dalam beberapa sumber mengatakan bahwa PKI merupakan dalang utama pembantaian 6 Jendral dan 1 Ajudan Nasution seperti buku yang diterbitkan oleh Menteri Sekretaris Negara pada tahun 1994  yang menceritakan kronologi sampai penumpasan G30S.  Sebagai perbandingan lihat buku apakah soekarno terlibat peristiwa G30S karya Kerstin Beise.
[6]Saleh As’ad Djamhari dkk, Komunisme di Indonesia jilid IV,(Jakarta: Pusjarah TNI bekerjasama dengan yaysan Kajian citra bangsa (YKCB):2009), hlm. 317
[7] Polewali Mamasa merupakan salah satu daerah tingkat II Sulawesi Selatan sebelum mekar menjadi Provinsi Sulawesi Barat dan berganti nama menjadi Polewali Mandar             
[8] Arsip Pemerintah Daerah Tingkat II Polmas 1918-1983 No. Registrasi 247.
[9] Karl Marx, Friedrich Engels, The Holy Family, University Press of the Pacific, 2002-06
[10] Suhartono W. Pranoo, teori & Metodologi Sejarah, Yogyakarta, 2010, hlm 11
[11] Saefur Rochmat, ilmu sejarah dalam perspektif ilmu sosial, Yogyakarta, 2009, hlm 147-150