Di
dalam sebuah negara, pasti tidak akan terlepas dari masalah-masalah sosial yang
menggerogoti masyarakat setempat. Masalah-masalah sosial tersebut biasanya
terjadi karena adanya ketidakseimbangan di dalam sebuah kehidupan bermasyarat
sehingga biasanya harapan masyarakat tidak sesuai dengan kenyataan yang ada.
Masalah sosial ini bianya timbul karena adanya beberapa faktor dan faktor yang
paling mencolok diantara faktor-faktor yang menyebabkan masalah sosial adalah
faktor ekonomi. Diantara masalah sosial yang ada di masyarakat, penulis akan
mengangkat judul tentang “LOKALISASI PELACUR”.
Pelacuran
merupakan kegiatan yang seusia dengan kehidupan manusia. Selama ini orang-orang
yang memakai kaca mata moral melihat pelacuran dari sudut peremupan yaitu
pekerja seks komersial (PSK). Padahal, pelacuran hidup karena kehadiran
laki-laki. Tapi, karena yang bicara laki-laki dan memakai kaca mata moral yang
menjadi sasaran tembak adalah PSK.
Selama
ada roda kehidupan maka (praktek) pelacuran tidak akan berhenti. Bahkan, akidah
pun dipakai untuk ‘menghalalkan’ pelacuran. Di Jakarta dan beberapa tempat yang
melakukan ‘kawin kontrak’, praktek pelacuran ‘dihalalkan’ dengan nikah mut’ah.
Secara akidah pernikahan itu sah karena sudah memenuhi rukun nikah yaitu (1)
ada calon mempelai laki-laki dan perempuan, (2) ada wali, (3) ada saksi, (4)
ijab, dan (5) kobul. Tapi, mereka khilaf bahwa seseorang yang sudah mereka
‘nikahkan’ kemudian ‘bercerai’ setelah beberapa jam atau beberapa hari
mempunyai masa idah yaitu tiga bulan. Tapi, perempuan-perempuan itu bisa
‘menikah’ lagi beberapa jam setelah ‘bercerai’.
Yang
perlu diperhatikan dalam hal pelacuran bukan ada atau tidak lokalisasi, tapi
yang perlu diperhatikan adalah praktek pelacuran yaitu kegiatan berupa hubungan
seks, dalam hal ini antara laki-laki dan perempuan, dengan imbalan uang yang
diberikan laki-laki kepada perempuan. Kegiatan seperti ini tidak hanya terjadi
di lokalisasi pelacuran tapi bias terjadi di mana saja dan kapan saja. Siang
atau malam hari bias terjadi di losmen, motel, hotel melati atau berbintang,
rumah, apartemen, taman, hutan, dll.
Praktek
pelacuran ada yang terbuka dan ada pula yang tertutup. Yang terbuka di
lokalisasi pelacuran. Sedangkan yang tertutup laki-laki menunggu di satu tempat
kemudian perempuan datang menyusul. Ini yang disebut sebagai ‘perempuan
panggilan’ karena perempuan yang akan meladeni laki-laki ‘hidung belang’
dipanggil melalui telepon, atau kurir yang bisa seorang pegawai losmen atau
hotel, tukang beca, pengojek atau sopir taksi. Ada juga perempuan sudah
‘tersedia’ di losmen atau hotel yang ‘menyamar’ sebagai tamu. Ada pula
perempuan dengan dandanan tertentu yang menawarkan diri dengan mangkal di tepi
jalan tertentu, di mal atau tempat lain.
Jika
bertolak dari upaya menyelamatkan masyarakat maka lokalisasi pelacuran bukanlah
tindakan melegalkan pelacuran karena tanpa lokalisasi pun praktek pelacuran
terus terjadi. Inilah yang mengancam masyarakat karena laki-laki yang melakukan
hubungan seks dengan perempuan (baca: PSK) di losmen, motel, hotel, rumah,
apartemen, dll. Berisiko tinggi tertular IMS dan HIV atau dua-duanya sekaligus.
Kalau mereka tertular maka mereka akan menularkannya kepada orang lain.
PSK
di pelacuran tertutup sering disamarkan sebagai ‘anak sekolah’, ‘ayam kampus’,
‘cewek salon’, dll. Apa pun namanya sehingga tidak menggambarkan PSK tapi
mereka itu tetaplah sebagai orang yang berisiko tinggi tertular IMS dan HIV
atau dua-duanya sekaligus karena mereka melakukan hubungan seks dengan pasangan
yang berganti-ganti.
Sampai
sekarang sudah banyak daerah (kabupaten, kota, dan provinsi) yang menelurkan
peraturan daerah (Perda) yang melarang pelacuran dan penanggulangan HIV/AIDS.
Tapi, hasilnya nol besar karena yang diatur tidak menyentuh inti persoalan
yaitu upaya untuk mencegah penularan IMS dan HIV dengan cara yang masuk akal
serta melindungi masyarakat. Perda-perda itu justru mengedepankan moral sebagai
alat untuk mencegah penularan IMS dan HIV serta mengancam orang-orang yang
menularkan HIV. Padahal, lebih dari 90 persen penularan HIV terjadi tanpa
disadari.
Salah
satu upaya untuk memutus mata rantai penyebaran IMS dan HIV melalui Perda
adalah dengan mebuat ketentuan yang mewajibkan laki-laki memakai kondom jika
melakukan hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, dengan pasangan yang
berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan,
seperi PSK, baik di lokalisasi pelacuran maupun di pelacuran tertutup.
Salah
satu contoh lokalisasi yang paling terkenal adalah lokalisasi Dolly yang ada di
Surabaya yang merupakan salah satu lokalisasi terbesar di Asia Tenggara.
Lokalisasi Dolly merupakan sebuah lokasi pelacuran yang menawarkan wisata malam
dengan kenikmatan tersendiri dengan suasana malam yang begitu mencekam di
wilayah tersebut. Hal ini pun dimanfaatkan oleh para penjaja cinta untuk
mencari rejeki dengan menjual kenikmatan sesaat. Lokalisasi ini telah ada sejak puluhan tahun
lalu, bahkan konon sejak jaman penjajahan Belanda. Seorang teman pernah
menemukan buku Sejarah Asal – usul Gang Dolly. Nama Dolly sendiri adalah nama
depan mucikari kebangsaan Belanda kala itu, sehingga mungkin bisa dipercaya
bila lokaliasasi ini telah ada sejak jaman baheula.
Ada wacana dari pemerintah daerah untuk menutup
lokalisasi tersebut karena Penyebaran Penyakit kelamin dan Virus HIV AIDS sudah
sangat memprihatinkan. Sejak 2006 hingga 2010 ada 62 PSK di Gg.Dolly
terindikasi terjangkit virus HIV, dan banyak PSK yang terjangkit penyakit
kelamin. Ada berapa pria hidung belang yang kemudian terjangkit HIV dari PSK
dan kemudian menularkan pada istri dan keluarga lainnya.
Tapi
ada beberapa pertimbangan lain yang harus diperhatikan untuk menutup sebuah
lokalisasi, dan memang penutupun sebuah lokalisasi sangatlah sulit karena:
1.
Faktor Kemiskinan.
Kemisikan
selama ini diyakini sebagai Faktor Primadona. Mencari uang dengan menjual
kehormatan sebagai perempuan untuk membiayai hidup memang terdengar begitu
memilukan, tapi itulah yang selama ini diyakini.
1.
Perputaran uang yang luar biasa menggiurkan.
Dari
Penelusuran seorang wartawan harian lokal di Surabaya yang saya baca, seorang
warga mengatakan perputaran uang disini sangat menggiurkan. Kita ambil contoh
retribusi saja. Setiap pelanggan dikenakan Retribusi yang katanya dikelola oleh
RW setempat sebesar Rp.5000 / jam. Warga tersebut mengungkapkan paling tidak
setiap PSK bisa melayani 4 pelanggan setiap harinya. Berarti setiap PSK bila
dihitung telah memberikan kontribusi sebesar Rp.20.000/ hari, atau
Rp.600.000/bln. Sedangkan menurut Data Puskesmas setempat jumlah PSK mencapai
1200-an orang. Berarti dari retribusi saja bisa menghasilkan uang sebesar
Rp.720.000.000/bln. Itu baru dari retribusi, belum dari pungutan lainya seperti
ijin mendirikan wisma, pemutihan usaha, pungutan plakat “TNI dilarang masuk”
dan pungutan – pungutan lainnya. Si Mucikari sendiri, selain mendapat uang dari
PSK, juga meraup keuntungan rata – rata Rp.10.000/botol dari botol Bir yang
dijual. Dan masih banyak lagi.
2.
Sudah mendarah daging.
Karena
sudah ada sejak jaman Belanda, tentulah ini memiliki kesulitan sendiri. Warga
sekitar sudah menggantungkan perekonomian dari sini sejak lama. Seperti Tukang
Becak, Supir Taksi, Musisi, Warung – warung, dan banyak lagi. Sehingga
penutupan Lokalisasi tidak hanya berdampak pada PSK dan Mucikari saja, tapi
juga warga sekitar.
Walikota
Surabaya sempat menolak penutupan Lokalisasi secara langsung. Beliau
mengkhawatirkan, para PSK tersebut justru menyebar kemana – mana, di jalan –
jalan, dan itu hanya akan menambah persoalan bagi Pemkot Surabaya. Apalagi
banyak PSK Dolly yang bukan berasal dari Surabaya. Belum lagi warga sekitar
yang sudah menggantungkan perekonomian dari bisnis esek – esek tersebut.
Dikhawatirkan mereka akan menambah panjang permasalahan kesejateraan sosial
yang belum diselesaikan di Surabaya.
Namun
ada memberitakan rencana Pemerintah yang disampaikan oleh Wakil Gubernur Jawa
Timur Gus Ipul. Gus Ipul menyatakan wacana penutupan tetap akan dilaksanakan
secara bertahap hingga diharapkan 4 tahun lagi Gg.Dolly sudah benar – benar
bisa ditutup. Selama ini Pemkot Surabaya telah mengadakan beberapa usaha
seperti pembatasan PSK baru, pemberian kegiatan keagamaan, dan ketrampilan.
Setelah ini Pemprov Jatim dan Pemkot Surabaya akan meningkatkan kegiatan –
kegiatan tersebut, dan menambahkan beberapa program efektif lainnya, termasuk
pemberian modal bagi para PSK. Diharapkan dengan modal tersebut, mereka bisa
membuka usaha sendiri.
Menurut
penulis, penutupan lokalisasi sangat berdampak baik dalam kehidupan sosial
masyarakat akan tetapi perlu diperhatikan bahwa dengan adanya penutupan ini
pasti berdampak kepada kehidupan masyarakat yang ada dilokalisasi, bukan hanya
pekerja seks komersial (PSK) akan tetapi akan berdampak pada pendapatan para
pedagang disekita kawasan tersebut. Pererintah perlu mempertimbangkan beberapa
aspek jika ingin menutup lokaisasi, kebijakan yang di ambil pemerintah haruslah
tepat, jangan sampai mengambi kebijakan yang instan tanpa pertimbangan karena
kebijakan yang instan akan menghasilkan dampak yang instan pula.
DAFTAR
PUSTAKA
Penulis
pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta
(E-mail: infokespro@yahoo.com)
Astrid
Ayu Septaviani pada Oktober 26, 2010 in Perempuan dan Sosial Sekitarnya
www.google.com
Penulis
Agen Slot Terpercaya
BalasHapusAgen Situs Terpercaya
Agen Bola Terpercaya
Agen Casino Terpercaya