BAB
I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Dalam perjuangan mempertahankan
kemerdekaan republic Indonesia, terutama pemuda-pemudanya yang sadar terhadap
harga diri dan hak bangsa, serentak bangkit mempersatukan diri mengadakan
aksi-aksi perlawanan terhadap setiap penghalang cita-cita kemerdekaan bangsa
Indonesia.
Sebagai
akibat aksi-aksi perlawanan rakyat Sulawesi selatan terutama pemuda-pemudanya
yang sanagat merugikan pihak tentara belanda yang berusaha keras untuk
mengembalikannya penjajahan dibumi Indonesia, maka salah satu peristiwa yang
maha dahsyat yang tidak boleh dilupakan yaitu nilai pengorbanan 40.000 rakyat
di Sulawesi, korban yang mempunyai arti dan nilai perjuagan yang dijadikan
symbol patruotisme perjuangan demi kehidupan bangsa dan kelanjutan kemerdekaan
RI.
Peristiwa
tersebut mencapai puncak kehebatannya terjadi antara tanggal 10 desember 1946
sampai dengan 17 februaru 1947, pada operasi penbersihan yang dipelopori kapten
R.P.P. Westerling dari korps special Troepen belanda ( KNIL) bersama-sama
dengan kesatuan KNIL lainnya dan malah dengan kesatuan polisi dan
pembantu-pembantunya termasuk pasukan Poke atau Pasoso yang diorganisir ioleh
golongan Aristocrates dari dewan adat.
B.Rumusan
Masalah
a. Masuknya
Tentara Sekutu dan reaksi awal masyarakat di Sulawesi Selatan
b. Pernyataan
SOB (Staat Van Oorlog en Beleg) atau Keadaan Darurat Perang
c. Kedatangan
Kapten Paul Pierre Westerling di Sulawesi Selatan
d. Pembantaian
Rakyat di Sulawesi Selatan
e. Perlawan
Rakyat Sulawesi Selatan diberbagai daerah
f. Makna
dan Hakekat Korban 40.000 Jiwa di Sulawesi Selatan
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Masuknya Tentara Sekutu dan
reaksi awal masyarakat di Sulawesi Selatan
Pada tanggal 23 September 1945
mendaratlah tentara Australia sebagai salah satu bagian dari tentara sekutu,
dan bersama mereka membonceng pula aparat belanda yang terkenal dengan NICA
(Netherlands Indische Civil Administration) yang mempunyai tugas khusus untuk
mengembalikan penjajahan belanda di Indonesia, dengan diam-diam NICA membangun
pemerintahan sipil yag dipusatkan kepada kantor gubernur Sulawesi selatan.
Dalam pembentukan pemerintahan sipil oleh NICA ini adalah selain dengan aparat
yang dipersiapkannya pada akhir perang dunia ke 2 di Australia juga membujuk
pamom praja dengan pemberian pangkat yang tinggi-tinggi serta gaji lumayan.
Sebagai langkah pertama dalam
usahanya memancing simpati dan perhatian rakyat dengan melelui badan yang
khusus mereka bentuk untuk itu yakni bagian penerangan yang bernama R.V.D.
(Regerings Voorlichting Dienst) dengan tugas menyebarkan pamflet-pamflet yang
bernada menjelek-jelekkan republic Indonesia dan yang di dongeng-dongenkannya
bahwa republic Indonesia adlah ciptaan dan hadiah dari boneka-boneka jepang.
Selain itu bertujuan pula untuk memperkuat pemerintahannya yang telah mereka
bentuk dengan mengecilkan arti pemerintah republic di Sulawesi selatan yang
telah ada sebelumnya dan telah mewujudkan pengambilalihan beberapa kekuaasaan
dari banda-badan resmi jepang yang keseluruhannya mendapat dukungan terutama
pemuda-pemuda simpatisan-simpatisan, kepala-kepala pemerintah dipedalaman serta
kepala-kepala adat dan lain-lainnya.
Pemerintah republic Indonesia di
dulawesi selatan yang dipimpin oleh gubernur Ratulangi adalah merupakan lambing
kekuasaaan republic Indonesia yan menjadi pegangan bagi seluruh rakyat, para
pemimpin dan raja-raja khususnya di Sulawesi selatan. Dan untuk memperkokoh
benteng pertahanan dalam menghadapi kegiatan-kegiatan NICA, maka
gerakan-gerakan menanamkan benih kemerdekaan digiatkan sedemikian rupa yaitu
antara lain beberapa tokoh pemimpin yang merupakan staf pemerintahan RI
provinsi Sulawesi yang terdiri dari Lanto Daeng Pasewang, Hajarati, abdul
madjid dan sebagainya mengadakan perjalanan perjalanan di pedalaman Sulawesi
selatan untuk lebih membulatkan tekad dan menginsyafkan rakyat bahwa
kemerdekaan itu adalah merupakan perjuangan suci dan mulia.
Demikian obor kemerdekaan kian hari
kian menyala di dada rakyat terutama pemuda-pemuda, aksi-aksi pemogokan
sabotase, blockade ekonomi terhadap belanda dan aparatnya utamanya di kota
Makassar, dilakukan dan pemuda-pemudalah yang memegang peranan penting menjaga
sepanjang pantai dan poros-poros lainnya agar segala bahan makanan baik yang
diangkut dengan perahu maupun angkutan-angkutan lainnya, dicegah agar tidak
jatuh di tangan belanda.
Raja-raja di Sulawesi selatan
mempersatukan pendirian terhadap tindakan-tindakan untuk menghadapi NICA, dan
salah satu putusannya adalah berupa pernyataan tetap setia terhadap republic
Indonesia dan akan tetap mempertahankannya dengan kegiatan-kegiatan yang
dilakukan baik oleh pemimpin-pemimpin, pemuda-pemuda ,maupun raja-raja dengan
pernyataan itu, makin menambah kokohnya kedudukan republic Indonesia dengan
pemerintahannya di Sulawesi dibawah pimpinan Dr. G.SSJ. Ratulangi sebagai
Gubernurnya sehingga belanda pada situasi yang tidak menguntungkan itu mengajak
pemerintah Republik Indonesia di Sulawesi untuk berunding, tetapi ditolak terutama
golongan pemuda-pemuda sebagaimana yang diucapkan oleh gubernur Dr. ratulangi
pada waktu itu “ memang suatu waktu orang bisa mentaati hasrat pemuda” dalam
situasi yang tegang ini pihak NICA ingin segera usaha dan cara membuat
pancingan-pancingan baik terhadap rakyat lebih-lebih kepada pemimpin-pemimpin
dengan maksud menggoyahkan pendirian bagi yang tidak kuat imannya, cara-cara
yang digunakan antara lain di bidang politk yaitu pecah belah antara pimpinan
dengan pimpinan, pimpinan dengan rakyatnya sedang di bidang ekonomi dengan
aparat NIGIEO (Nederlands Indisch Gemeenschappelijk Import Export Organisatie)
serta kantor-kantor distribusi dan peredaran uang NICA nya karena praktis
kegiatan ini bertujuan mengecilkan arti republic bagi rakyat banyak dan untuk
lebih mengokohkan kekuasaannya dengan pemerintah yang telah dibentuknya itu.
Politik adu domba dilangsungkan tidak hanya antara pemimpin tetapi juga antara
rakyat dimana pada puncaknya berhasil menimbulkan peristiwa ambon di Makassar
yang dimulai dengan tindakan provokatif KNIL suku ambon yang berkedudukan di
Fort Rotterdam dengan sepasukan KNIL terdiri dari satu pleton mengendarai empat
truk mengadakan penembakan terhadap pemuda dan rakyat dipinggir jalan sepanjang
Lajangiru, Maccini, dan Maricaya di kota Makassar pada tanggal 2 oktober 1945.
Tentara belanda menjalankan siasat
ampuh mengadakan kontak dengan pihak raja-raja atau golongan bangsawan atau
intelektual, bahwa mereka akan membangun kembali Indonesia yang telah hancur
ditindas dan diperas oleh facisme jepang. Ternyata perhitungan NICA meleset,
mereka lupa bahwa diujunga abad 20 adalah kebangkitan bangsa-bangsa kilit
berwarna terutama di asia dan di afrika secara serentak bergolak untuk
melepaskan diri dari cengkraman dari imprealisme, kolonialisme dan kapitalisme.
Rupanya imprealisme belanda pada saat itu, tidak begitu tajam meneropong gerak
dari perubahan dan peralihan sejarah di benua asia utamanya di asia tenggara
persisnya di Indonesia.
Namun demikian, belanda terus
berusaha menanamkan pengaruhnya diantaranya adalah mengadakan konferensi malino
pada tanggal 16 juli 1946 yang dihadiri oleh wakil-wakil dari irian barat (new
guinea), Maluku utara dan selatan, timur, flores, Sumbawa, Lombok, bali riau,
Bangka Belitung, borneo barat/selatan/timur, sangir talaud, minahasa,
goromtalo, minahasa, Sulawesi utara/tengah/selatan dan tenggara.
Konferensi malino melahirkan
keputusan-keputusan penting sebagai berikut:
1. Negara
Indonesia nanti harus berbentuk federal
2. Sebelum
Negara federal itu dibentuk harus dilalui masa peralihan, selama itu kedaulatan
masih ada di tangan belanda
3. Biarpun
Negara pederal ini merdeka, tetapi harus ada hubungannya dengan Negara belanda
Menurut dokumen politik belanda, bahwa konferensi
malino sebagai realisasi pidato ratu belanda tahun 1942 untuk memberikan hak
menentukan nasib sendiri kepada hindia belanda. Bagaimanapun diputarbalikan,
kenyataan menyatakan lain semuanya adalah kedok imprealisme dan kolonialisme
belaka untuk meneruskan penjajahannya di bumi ini.
B.
Pernyataan SOB (Staat Van Oorlog en Beleg) atau Keadaan Darurat Perang
Perjuangan membela dan
mempertahankan kemerdekaan Repblik Indonesia di Sulawesi Selatan, bukan hanya
ditempuh melalui diplomasi tetapi juga lewat perlawanan bersenjata.Hal itu
dibuktikan dengan berdirinya orgaisasi kelasykaran dan organisasi politik.
Kegagalan gerakan pemuda merebut tempat-tempat strategis yang dikuasai NICA di
kota Makassar tangga 29 oktober 1945, dan makin sulitnya perjuangan melalui
dipolomasi politik, tidak melemahkan semangat pejuang pemuda pemudi melawan
NICA menghidupkan kembali kekuasaan pemeritah di Sulawesi Selatan. Jiwa dan
semangat mereka makin kooh dalam melawan NICA melalui organisasi-organisasi
kelasykaran.
Sejak itu gerakan pemuda pejuang
kemerdekaan Republik Indonesia beralih ke luar kota Makassar atau daeah
pedalaman. Perjuangan bersenjata tersebut berhasil diorganisir berkat dorongan
jiwa dan semangat revolusioner para pemuda perjuangan kemerdekaan, sehingga
dapat menarik sebagian tokoh-tokoh masyarakat setempat berpihak pada Republik
Indonesia, serta dukungan pengaruh dan kewibawaan serta sikap beberapa
bangsawan tinggi di Sulawesi Selatan sejak awal bertekad memperjuangkan
terwujudnya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang telah diproklamasikan. Hal ini
sangat besar pengaruhnya terhadap perlawanan bersenjata di Sulawesi Selatan
dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan bangsa Indonesia.
Selain itu, hadirnya utusan Sulawesi
Selatan di Jawa mendorong pemerintah pusat dan pejuang-pejuang RI di Jawa
membentuk pasukan bantuan (TRIPS) yang kelak akan di kirik ke Sulawesi Selatan.
Kehadiran TRIPS dari Jawa yang membantu perjuangan rakyat di Sulawesi Selatan
menambah semangat juang perlawanan rakyat terhadap NICA. Kenyataan itu
merupakan salah satu sebab yang mengharuskan pihak NICA ( Belanda) mendatangkan
pasukan bantuan di Sulawesi Selatan, baik yang langsung didatangkan dari negeri
Belanda yakni divisi 7 desember maupun dari Jawa yaitu Detasemen Speciale
Troepsen (DST) di bawah pimpinan Westerling untuk meredam perlawanan rakyat
Sulawesi Selatan. Pemerintah Belanda selanjutnya mengeluarkan perintah keadaan
darurat perang atau SOB (Staat Van Oorlog en Beleg) tanggal 11 desember 1946,
yang bukan hanya berlaku untuk afdeling Makassar, Pare-Pare, Bantaeng, dan
Mandar saja tetapi di seluruh wilayah Sulawesi Selatan. Perintah keadaan
darurat perang yang diumumkan oleh belanda itu dilaksanakan dalam bentuk aksi
pembersihan yang berakibat jatuhnya korban jiwa yang tidak sedikit.
C.Kedatangan
Kapten Paul Pierre Westerling di Sulawesi Selatan
Di bulan terakhir tahun 1946 dapat
dikatakan bahwa seluruh Sulawesi selatan telah jatuh ke tanga NICA, akan tetapi
bukan berarti belanda sudah merasa aman dan tentram dimana-mana. Praktis yang
dikuasai hanya di dalam kota saja. Semua sector terdapat kubu-kubu pertahanan
gerilya kita. Sewaktu-waktu gerilya mengadakan penculikan-penculikan dan
penghadangan-penghadangan yag mengakibatkan korban-korban di piak belanda. Cara
dan taktik gerilya para pejuang
benar-benar memusingkan belanda. Selain itu mata-mata (spion melayu)
NICA telah mencium rentan pendaratan-pendaratan dari ekspedisi dari Tentara
Rakyat Indonesia (T.RI.) dari Yogyakarta yang tergabung dari organisasi brigade
16 yang dipimpin oleh kahar muzakkar dan kesatuan ALRI sebrang dipimpin andi
rachmad ariessalah seorang pendiri ALRI.
Ekspedisi pertama mendarat di tanah
Mandar di mangkoso oleh kapten andi sarifin bersama andi sapada dan Muh. Daeng
Patompo, di suppa oleh mayor M. Saleh Lahade bersama andi oddang dan Achmad
Lamo dan di barru oleh mayor andi mattalatta bersama dengan Alim Bachri dan
Bachtiar. Ini 6terjadi pada kuartal akhir 1946. Pendaratan berikutnya Januari
1947 di Bulo-Bulo oleh letnan Bakri dan A.R. Makmur, di Kajuara Bone oleh Andi Mumang Yusuf dan maret 1947 pendaratan selalu
dibumbui dengan pertempuran-pertempuran sengit, sehingga bertambah gelisah dan
rawan menghadapi 2 kekuatan, yaitu serangan-serangan oleh TRI dari Jawa dan
gempuran-gempuran Gerilya dari dalam hutan ke tangsi –tangsi Belanda.
Keadaan ini membuat belanda khawatir
akan kekuatan dan kemampuan militernya, akhirnya mendatangkan baret merah
divisi 7 desember dipimpin kapten Westerling. Pertempuran di kampong camba pada
4 desember 1946, Belanda kehilangan beberapa serdadunya sehingga mempercepat
datangnya bala bantuan dari Jawa untuk membalas dendam kepada pemuda-pemuda
pejuang dan rakyat Sulawesi Selatan. Tepat 7 desember 1946 Westerling dengan
pasukan baret merahnya mulai mengadakan penembakan-penembakan terhadap puluhan orang
yang tidak berdosa di dalam kampung di kota Makassar, terutama di distrik
Mariso dan ujung tanah pembakaran rumah-rumah penduduk, pencabutan jiwa pemuda
pejuang, perampasan harta-harta rakyat berlangsung hingga 10 desember 1946.
D.
Pembantaian Rakyat Sulawesi Selatan oleh Kapten Westerling
Setelah Westerling ditugaskan di
Makassar oleh pemerintah Belanda awan mendung mulai menyelimuti sejarah
perjuangan kita.40.000 rakyat Sulawesi Selatan meregang nyawa akibat
pembersihan yang tidak berperikemanusiaan yang dilakukan oleh Kapten
Westerling. Adapun kronologis pembantaian rakyat adalah sebagai berikut:
1. 11
Desember 1946, secara resmi Westerling dan baret merahnya mengadakan
pembersihan di dalm kota. Pada hari itu juga Westerling memberangkatkan pasukan
sebanyak 3 buah perahu di daerah Limbumg (Gowa) berbendera merah putihdan
mendarat di tanjung bunga. Rakyat Limbung berbondong-bondong menyambut di
pantai, disangkanya TRI dari Jawa, setelah mendarat rakyat dipaksa untuk
menunjukkan tempat-tempat persembunyian TRI, di daerah Gowa. Rakyat tetap setia
terhadap TRI tidak ada rahasia yang dibocorkan, hantu-hantu belanda marah.
Pertunjukan maut dimulai, peluru—peluru berdesing meninggalkan larasnya, rakyat
rebah bergelimpangan tanpa proses demi untuk menunutk hak yang bernama
kemerdekaan mereka gugur satu demi satu. Baret merah melanjutkan perjalanan ke
selatan dan menembaki rakyat setiap kampung yang dilewati. Mungkin lebih sukar
membunuh ayam ketika itu dari pada membunuh manusia. Di bukit sambung Jawa
mencabut lagi 89 jiwa penduduk. Demikianlah hantu-hantu Belanda yangt
bernapaskan peluru maut berjalan terus seperti drakula yang haus darah.
2. 12
desember 1946 Westerling dengan pasukannya menyerbu Bulukimba dari dua jurusan
yaitu dari Bantaeng dan Sinjai. Di perbatasan Bantaeng dan Bulukmba, baret
merah menembak semua yang bernyawa. Kalau ada rakyat yang serombongan menuju ke
pasar, semuanya di sikat habis. Di distrik Gantarang (markas pemberontakan
rakyat melawan penjajah di bulukmba) menderita korban yang terbanyak.
Keseluruhan dalam satu hari saja meliputi ratusan jiwa di kirim ke akhirat
tanpa perangko yang sebenarya.
3. 14
desember 1946 Westerling kembali ke Makassar dan langsung mengepung kampung
Kalukuang. Semua laki-laki, peremupan, anak-anak, kakek nenek di atas rumah
diperintahkan berkumpul di lapangan. Rakyat diperiksa satu per satu sekedar
penundaan waktu untuk mempersiapkan penembakan-penembakan secara kelompok.
Sebagian menggali lubang, sebagian mengangkat mayat, kemudian
pengangkat-pengangkat mayat tadi di berondong peluru dan rebah masuk lubang
yang menganga lebar menanti korban-korbannya. Hari itu menurut catatan harian
seseorang yang berhasil lolos dari maut tidak kurang dari 1000 jawa melayang di
Kalukuang. Masa terror hanya 12 jam saja dari fajar hingga senja hari.
4. 16
desember 1946, kampung Jongaya di sebelah selatan kota Makassar mendapat
giliran. Caranya lain lagi, tengah malam penduduk dibangunkan dari tidurnya
yang nyenyak. Di pagi buta rakyat bekerja di pelabuhan Makassar, begitupun
pegawai-pegawai dan guru-guru bergegas menuju tempat tugasnya masing-masing
tiba-tiba di hadang oleh pasukan pencabut nyawa alias Westerling penentu jiwa
manusia ketika itu. Siapa saja yang lewat, semua digiring kelapangan dekat
masjid. Setelah lapangan mulai sesak dengan manusia, algojo Westerling muncul
dengan sepasang pistol-pistolnya. Serta merta pembantaian manusia dimulai
dengan senjata-senjata otomatis. Hamper 2000 jiwa melayang dalam beberapa hari,
siapa saja yang memiliki lencana dan bendera merah putih serta tanda anggota
PNI sudah cukup alasan digiring ke lapanga dan tamatlah riwayatnya.
5. 8
januari 1947, banjir darah di sepuluh kampung, yaitu di daerah Bonto Ramba,
Paitanang, Sapanang, Bulo-bulo, Palumbangan Lentu Palaju, Arungkeke, Togo-Togo,
Bangkala, Taroang, dan Laju. Rakyat bergantian rebah ketanah diterkam oleh
Macan Westerling. Tindakan ini adalah pembalasan sewaktu diserang dan diusir
dari Bulo-bulo oleh pasukan TRI yang barui mendarat dari Jawa pada 7 januari
1947
6. 28
januari 1947, Westerling membunuh Andi Makkasau dan Andi Abdullah Bau Maseppe
dengan menenggelamkan di laut dan diseret dibelakang mobil sampai mati. Suatu
kekejaman yang menodai peradaban manusia.
7. 1
februari 1947. Pembersihan di Mandar, juga oleh Westerling di kampung Paputta
dan Galung Lombok. 500 orang yang baru ditangkap kemarin, hari itu dijejer
dekat lubang, kemudian disapu dengan senapan mesin. Tanggal 2 februari 1947,
adegan maut dilanjutkan di Tinambung-Balannipa tepat pada hari pasar. Baret
merah belum puas, operasi diteruskan di Pare-pare. Sekian ratus jiwa melayang
lagi.
8. 5
Februari 1947 di Pamboang Mandar
9. 17
Februari 1947 di kampung Lisu-Tanete-Barru 49 orang.
Dari
sejumlah opersai pembersihan tersebut barulah berupa tangal dan tempat
peristiwa yang diketahui sedangkna jumlah korban dan penembakan yang pasti
serta nama-nama dari yang bersangkutan sebagian besar belum lagi ditemukan dan
masih dalam proses penelitian lebih lanjut, terlebih pada operasi pembersihan
yang dilakukan oleh pasukan KNIL di seluruh daerah-daerah termasuk polisi.
Menurut
laporan dokumen-dokumen hidup, dalam beberapa minggu saja.Belanda telah
mengorbankan 10.000 jiwa penduduk yang tiada berdosa.Ini meliputi sector
selatan. Di sector utara meliputi Mandar, pinrang, pare-pare, barru, soppeng,
maros, dan camba, mencapai 5000 orang. Di daerah Luwu dan Sulawesi Tenggara
mendekati 2000 orang.
Berikut
adalah daftar korban yang tersebar di
Sulawesi Selatan:
1. Sebgkang
dan Soppeng : 20 orang yang
terdaftar
2. Bone
:
belum terdaftar
3. Jeneponto :
195 rang yang terdaftar dari GMT/LAPTUR
4. Bulukmba :
37 orang
5. Majene :
Belum terdaftar
6. Polewali :
15 orang yang terdaftar
7. Palopo,
Masamba, Mangkutana :
121 orang yang tercatat gugur tahun 1950
8. Enrekang
:
Belum terdaftar
9. Pare-Pare,
Sidrap, dan Barru :
458 orang kelasykaran Ganggawa/ BPR H.I KRIS, expedisi TRI dan ALRI
10. Ranrepao-Tator :
27 Orang yang terdaftar
11. Goa,
Malino, Tombolo :
203 orang yang terdaftar dari kelasykaran H.I GMB/ Lipang Bajeng PPNI, KRIS,
ekspedisi TRI
12. Makassar :
285 orang dari kelasykaran H.I GMB/ Lipang Bajeng dan expedisi TRI
E. Perlawan Rakyat Sulawesi Selatan di
Berbagai daerah
1.
Afdeling Makassar
Setelah gagalnya perlawanan para
pejuang RI, khususnya pemuda di kota Makassar tanggal 29 Oktober 1945 maka
mereka meninggalkan kota itu dan menyingkir ke daerah pedalaman untuk
membangkitkan jiwa dan semangat perjuangan rakyat serta mengorganisir wadah
kekuatan bersenjata dalam melakukan perlawanan terhadap NICA. Para pemuda
pejuang kemerdekaan RI mengalihkan kegiatan perjuangannya ke sebelah selatan
kota Makassar, seperti daerah Polong Bangkeng dan sekitarnya sebagai pusat
perlawanan bersenjata yang kuat dalam melawan NICA. Demikian pula jiwa dan
semangat perjuangan rakyat Polong Bangkeng dan sekitarnya yang sejak awal telah
bertekad untuk mempertahankan kemerdekaan makin bangkit ketika pemuda-pemuda
pejuang dari Makassar dating ke daerah itu untuk bergabung dalam rangka
memperjuangkan terwujudnya Negara kesatuan republic Indonesia yang telah
diproklamasikan. Kehadiran pemuda-pemuda pejuang yang tiba Polong Bangkeng dan
daerah sekitarnya bukan saja memperkuat organisasi perjuangan di daerah itu
sebagai pusat perjuangan bersenjata yang gigih dan yang paling lama di Sulawesi
Selatan tetapi juga merubah taktik perjuangan kea rah yang lebih ofensif. Sejak
itu serangkaian peristiwa pertempuran antara para pemuda yang tergabung dalam
berbagai organisasi kelasykaran dengan serdadu KNIL penyergapan, penghadangan
serta aksi-aksi sabotase lainnya dilakukan oleh para pemuda pejuang terhadap
aparat-aparat NICA dan kaki tangannya di wilayah afdeling Makassar.
Umtuk mewujudkan taktik perjuangan
yang lebih matang, maka dalam pertemuan uang diselenggarakan tanggal 15 dan 17
desember 1945, para pemuda pejuang memutuskan akan melancarkan seranga ke kota
Makassar. Berdasarkan keputusan itu, para pemuda pejuang di bawah pimpinan
Syamsudin Daeng Ngerang melakukan penyerangan akhir bulan Desember 1945
berkekuatan kurang lebih 500 orang pejuang yang bekerja sama dengan
organisasi-organisasi pemuda yang masih bertahan di kota Makassar. Sasaran
serangan itu adalah markas tentara KNIL di tangsi KIS. Namun dalam perjalanan
ke Makassar para pemuda pejuang bertemu dengan patrol KNIL di baling baru
Jongayya, di pinggiran kota Makassar sehingga terjadi pertempuran antara kedua
belah pihak. Dalam peristiwa itu, pihak pejuang berhasil menghancurkan dua buah
mobil patrol KNIL, namun 2 pejuang gugur dan beberapa pemimpin mereka di tawan.
Serangan dilancarkan oleh pemuda itu dapat digagalkan pasukan KNIL sehingga mereka
mengalihkan aksi perlawanan menjadi aksi sabotase, seperti pemutusan kawat
telefon, pembakaran gudang, dan pertempuran kecil di kota Makassar.
Karena peristiwa baling baru
tersebut, pasukan NICAkeluar melakukan patroli dan menyerbu markas pejuang di
Batunipa, Polombangkeng, tanggal 7 januari 1946.Serangan tersebut mendapat
serangan dari pemuda pejuang yang tergabung dalam gerakan pemuda Bajeng di
bawah pimpinan Makkaraeng Daeng Mandjarungi.Dua orang gugur di pihak musuh
sedangkan lascar GMB tidak ada yang mengalami korban jiwa.Tanggal 19 februari
1946, pasukan NICA melancarkan lagi serangan di kubu pertahanan pejuang Bajeng
di polombangkeng.Serangan NICA itu mendapat perlawanan dari pemuda pejuang di
bawah pimpinan karaeng polombangkeng, Padjonga Daeng Ngalle dan berhasil
memukul mundur pasukan NICA, dua orang anggota lascar gugur di pihak GMB.
Setelah kedua serangan militer
pasukan NICA terhadap kubu-kubu pertahanan GMN di polombangkeng tersebut, maka
serangkaian pertempuran antara kedua belah pihak berlangsung pada hari-hari
berikutnya.Tanggal 21 februari 1946, sekitar 100 pemuda pejuang di bawah
pimpinan Ranggong Daeng Romo menyerang polisi NICA yang berpatroli di Pappa
Takalar. Tanggal 22 februari 1946, pertempuran pecah antara pemuda pejuang pimpinan
Ranggong Daeng Romo dengan pasukan KNIL di Bontocinde, pertempuran di malaka
tangga 23 februari 1946, dan pertempuran di Palleko tanggal 25 februari 1946.
Tanggal 1 Maret 1946 para pemuda
pejuang di bawah pimpinan Ranggong Daeng Romo yang berkekuatan 1 peleton yang
bersenjata lengkap dan didukung satuan pasukan bersenjata tombak dan pelontar
geranat yang terlatih, menghadang dan menyerang sebuah mobil patrol serdadu
KNIL di sekitar jembatan Parririsi. Kontak senjata terjadi antara kedua belah
pihak dan korban jatuh di pihak lawan, 14 pucuk senjata beserta pelurunya
berhasil direbut.Sejak peristiwa itu, pasukan NICA gita melancarkan serangan ke
kubu-kubu pertahanan para pemuda pejuang. Pertempuran pertempuran berikutnya
hamper terjadi setiap bulan sepanjang tahun 1946 dan korban dari kedua belah
pihak saling berjatuhan.
Tanggal 16 Desember 1946 Aspirant
Controleur Gowa R.F. Westhoof melakukan perjalanan dinas di daerah Tombolo yang
dikawal beberapa polosi NICA. Dia membawa pangan dan pakaian untuk dibagi-bagikan
kepada rakyat yang dianggap memihak NICA. Ketika mereka tiba di Tombolo, para
pejuang di bawah pimpinan karaeng Pado bermaksud menyerang dan merampas
senjata-senjata mereka, namun atas anjuran kepala disrtik Pao, A.B. Makkupalle,
maksud tersebut ditangguhkan karena daimbapat mengorbankan rakyat banyak. Atas
pertimbangan itu, para pemuda pejuang memutuskan menghadangnya beserta beberapa
pengawalnya di Buluballea. Para pemuda
pejuang di bawah pimpinan Karaeng Pado, bersenjata badik, keris, tombak, dan
parang melakukan penyerangan. R.F. Westhoof terbunuh bersama beberapa
pengawalnya, dan beberapa pucuk senjata berhasil dirampas.Dalam penyergapan itu
karaeng Pado gugur.
Setelah peristiwa tersebut, malam
tanggal 17 Desember 1946 seorang kurir dipeintahkan menghubungi 2 polisi bumi
putra yang bertugas di penjara Malino bernama Sattu Bampa dan Nya’la Kacing.
Keduanya diperintahkan agar esok pagi melarikan diri berbekal senjata beserta
para tahanan yang berada dalam pengawasan keduanya.Kedua polisi bumi putra itu
bersedia memenuhi keinginan para pejuang dan siap melaksanakan perintah itu.
Dini hari tanggal 18 Desember 1946, Sattu Bampa yang berbekal sepucuk senjata
Stan Gun dan Nya’la Kacing yang membawa sepucuk senjata Karaben Jepang serta 40
orang tahanan berhasil melarikan diri dari penjara Malino. Selanjutnya mereka
bergabung dengan para pejuang di kampung Longka, markas perlawanan pejuang, dan
bersiap-siap melancarkan serangan umum terhadap kedudukan NICA di Malino.
Rencana serangan umum itu mengerahkan sekitar 500 orang pejuang di bawah pimpinan R. Endang di
pos-pos NICA di Malino malam tanggal 18 Desember 1946, namun kurang membuahkan
hasil. Pihak Belanda mengirim bantuan pasukan sebanyak 9 truk serdadu KNIL dari
Makassar.
Pernyataan keadaan darurat perang
(S.O.B) yang disusul aksi pembersih oleh Westerling dan anak buahnya ternyata
tidak melemahkan jiwa dan semangat perjuanga rakyat Sulawesi Selatan dalam
menentang Belanda, bahkan makin gigih terhadap upaya NICA yangt hendak
membangun kembali pengaruh dan kekuasaan pemerintah colonial Belanda di daera
ini, terlebih lagi LAPRIS telah menjalin kerja sama dengan pasukan TRIPS yang
tiba dari Jawa di bawah pimpinan letnan A.R. Makmur Sitakka dan Letnan M.
Bachri yang mendarat di daerah Jeneponto. Buktinya, tanggal 23 Januari 1947
gabungan pasukan LAPRIS dan TRIPS yang antara lain dipimpin oleh R.W.
Monginsidi, Letnan A.R Makmur Sitakka, Bapa Jawa, dan Mino mengomandoi
penyerbuan pos-pos militer NICA di kota Makassar dan sekitarnya. Serangan
gabungan pasukan LAPRIS dan TRIPS berkekuatan sekitar 100 orang pasukan itu
mendapat perlawanan dari serdadu-serdadu KNIL dan kaki tangan NICA di Batua.
Korban berjatuhan di pihak LAPRIS dan TRIPS, dan yang selamat melarikan diri ke
Polombangkeng. ,
Sejak peristiwa di Batua tersebut
aktvitas perlawanan pasukan LAPRIS mulai agak menurun karena sebagian
pemimpinnya gugur dan tertawan, dan kebanyakan senjata mereka dirampas musuh,
di tambah lagi operasi pembersihan semakin merajalela dilakukan oleh Westerling
dan para anak buahnya di bawah payung SOB.
LAPRIS yang selama ini yang
mengorganisir para pejuang dalam melakukan perlawanan terhadap NICA merupakan
salah satu ancaman Belanda dalam upaya memulihkan kekuasaannya di daerah
ini.Karena itu, tanggal 27 Februari 1947, serdadu KNIL menyerbu markas LAPRIS
di Langgase.Serangan serdadu-serdadu KNIL ini dihadapi oleh pasukan LAPRIS yang
dipimpin langsung oleh panglima LAPRIS Ranggong Daeng Romo.Pertempuran tak
terelakkan antara kedua belah pihak. Markas LAPRIS di bakar dan Ranggong Daeng
Romo bersama 9 anak buahnya gugur.
2.
Afdeling Pare-Pare
Perjuangan yang dilakukan di
Pare-Pare dipimpin oleh Andi Makkasau. Hal ini terjadi karena teentara sekutu
yang mendarat di kota Pare-Pare semakin condong membantu tentara NICA seperti
usaha NICA mengedarkan uang Belanda dan mendatangkan bahan-bahan keerluan
sehari-hari kemudian NICA memberikan kepada orang tertentu untuk dijual di
bawah harga. Propaganda ini menarik perhatian orang-orang yangbtidak teguh
pendiriannya, bahkan sudah ada diantara mereka yang membantu NICA yang tentunya
merugikan perjuangan bangsa. Sebagai langkah yang ditempuh para pejuang untuk
mengimbangi kegiatan NICA tersebut dengan cara:
a. Andi
Makkasau sesudah shalat Jum’at di masjid Jami’ menyampaikan kepda jamaah masjid
bahwa kita harus meningkatkan persatuan karena kita sudah ditantang musuh atau
NICA, maka dianjurkan agar rakyat memboikot orang-orang yang membelanjakan uang
NICA dimana mendapat sambutan baik, yakni keesokan harinya serentak para
penjual di pasar tidak ada yang mau menerima uang NICA.
b. Andi
Abdullah Bau Maseppe secara diam-diam memerintahkan kepada beberapa pedagang
beras untuk menjual berasnya di Kalimantan Timur yaitu Balikpapan dan berusaha
membeli senjata api. Perintah ini cukup membawa hasil berupa beberapa senjata
api dapat di bawa ke Sulawesi Selatan dengan mendaratkan perahunya di daerah
Suppa yang diterima oleh Andi Selle, selanjutnya menhkoordinir para pemuda
untuk bergerak di bawah tanah dan memerintahkan bekas Heiho untuk melatih
pemuda-pemuda menggunakan senjata api.
Dengan adanya kesiapan pemuda –pemuda beserta bekas
Heiho untuk mengadakan aksi atau gerakan, maka disiapkan perlengkapan
secukupnya (beberapa pucuk senjata dan granat) untuk digunakan mengacaukan
kota. Senjata-senjata tersebut, sebagian diperoleh dari bantuan pasukan
ekspedisi TRIPS yang berhasil mendarat di Suppa seperti letnan Abdul Latif, Andi
Manjulai, dan Muhammad Tahir Daeng Tompo. Pada akhir September 1946,
pemuda-pemuda tersebut melakukan aksinya mengacaukan kota. Letusan granat,
tembakan pistol terdengar dimana-mana pada malam hari, gangguan-gannguan pada
pos-pos NICA semkin meningkat.
Pengacauan yang tidak terduga-duga menyebabkan NICA
bertambah marah, yang berakibat semua orang yang dicurigai ditahan tanpa alasan
yang jelas. Patrol-patroli polisi militer belanda yang dipimpin oleh sersan
Onken dengan beberapa temannya, siang malam berkeliling kota menyelidiki dan
menangkap keluarga-keluarga yang dicurigai. Aksi NICA yang dilaksanakan dengfan
tidak berperikemanusiaan itu di tandingi oleh pihak gerilyawan dengan
mengadakan penghadangan patrol-patroli NICA dijalan-jalan raya, dengan demikian
kekacauan semakin meluas, karena selain dalam kota pare-pare dan Suppa, juga
didaerah sidenreng, rappang dan barru tentara NICA mendapatkan perlawanan yang
sengit. Pergolakan kota pare-pare dan sekitarnya dipelopori oleh tiga
kelaskaran yang benar-benar mempunyai kekuatan bersenjata, yakni BPRI, BP
GANGGAWA dan HI.
Dengan kekacauan di daerah Sulawesi Selatan pada
umumnya sudah tidak dapat lagi diatasi oleh NICA. Menurut Edward
L.Poelinggomang dinyatakan bahwa telah terjadi hunungan kerja sama antar
pejuang di daerah ini dengan pemerintah republic di Jawa. Juga
kelaskaran-kelaskaran di daerah ini semakin terorganisir dalam wadah perjuangan
LAPRIS dan bahkan telah direncanakan membentuk divisi Tentara Republik
Indonesia (TRI) di Sulawesi Selatan.
Kenyataan itu mendorong pihak Belanda mengusahakan
pasukan untuk membantu memulihka kekuasaan di Sulawesi Selatan.Demi
keberhasilan program politik federasi maka dikirmlah pasukan bantuan ke
Makassar.Pada awal Desember 1946 tiba battalion tebtara Belanda dari divisi 7
Desenber yang didatangkan langsung dari negri Belanda. Kemudian menyusul
dikirim satu pasukan khusus yang dikenal dengan sebutan Depoot Speciale Tropen
(DST) yang dipimpin oleh Westerling dan tiba di makassar pada 5 Desember 1946 (menurut
buku “ Monumen Sejarah Perjuangan Bangsa di SulSel).
Pasukan khusus yang dipimpin oleh Westerling itu
sesungguhnya telah dipersiapkan bula Juli 1945. Karena itu sebelum mendapat
perintah untuk berangkat ke Makassar dengan tugas memberantas dan membinasakan
terror yang telah dilakukan ole kelaskaran rakyat pada bulan November
(Ijzereet, 1984;95), oia telah mengutus sebagian pasukannya yang telah dikomandani
oleh Vermaulen untuk melakukan pengumpulan keterangan-keterangan tentang
keadaan di Sulawesi Selatan. Berdasarkan pada keterangan yang dihimpun itu
Westerling berkesimpulan bahwa pusat perlawanan yang paling kuat adalah di
daerah Polombagkeng (Afdeling Makassar) dan di Suppa (Afdeling pare-pare). Cara
untuk menumpas perlawanan itu harus dilakukan dengan tindakan kekerasan
militer, tindakan tandingan yang tegas dan
keras yang dengan system yamg ia istilahkan (Standrecht) yaitu metode
menggiring penduduk untuk berkumpul di tempat-tempat umum, dan kepada mereka
yang diperkirakan mengetahui anggota kelaskaran rakyat diperintahka menunjukkan
pemuda pejuang kelaskaran yang langsung diadili di tempat, dijatuhi hukuman,
dan ditembak mati dihadapan rakyat banyak yang berkumpul itu. Metode Westerling
itu mendapatkan persetujuan dari pihak Belanda di Batavia, karena Van Mook
hanya memikirkan bagaimana cara untuk mensukseskan politik federasinya, itulah
sebabnya pada tanggal 11 desember 1946 Van mook sebagai Letnan gubernur jendral
mengeluarkan surat keputusan No. 1 yang berisi pernyataan keadaan perang (SOB)
belaku untuk afdeling Makassar, Bantaeng, Pare-pare, dan Mandar.
Metode
Standrecht yang sering diterjemahkan tembak ditempat tanpa proses atau oleh lembaga
pengadilan tinggi Belanda disebut metode hokum darurat (noodrecht) menunjukkan
suatu tindakan kebiadaban dengan pembantaian massal berakibat beribu-ribu
korban jiwa di Sulawesi Selatan.
3.Afdeling
Bantaeng
Tidak berbeda halnya dengan
daerah-daerah di Sulawesi Selatan, di daerah Bantaeng dan sekitarnya terjadi
pula aksi-aksi perlawanan terhadap NICA dan kaki tangannya. Perlawana yang
dilakukan oleh para pejuang melalui wadah organisasi kelaskaran itu, baik
berupa aksi-aksi sabotase, pelemparan granat, penghadangan dan penyergapan,
maupun pertempuran-pertempuran merupakan reaksi perlawanan atas kehadiran NICA
yang berupaya memulihkan kembali pengaruh dan kekuasaan pemerintahan colonial
Belanda di daerah itu. Adapun perlawan bersenjata terhadap NICA itu, antara
lain membunub kepala pos Bantaeng oleh pemuda pejuang bulan oktober 1945,
penyerangan kedudukan pasukan NICA di pasanggarangan bulan desember 1945 serta
penghadangan patrol KNIL di Malakaji tanggal 15 Mei 1946. Selain itu terjadi
pula kontak senjata antara para pejuang dengan pasukan NICA di Bontolojang
(april dan mei 1946), Arungkeke (20 mei 1946), Banyorang, Malakaji dan
Kanang-kanang tahun 1946, serta aksi sabotase lainnya berupa pemutusan kawat
telefon, penebangan pohon di pinggir jalan, perusakan jembatan, perampasan
senjata, penangkapan terhadap mata-mata NICA, serta pembakaran kantor dan rumah
aparat-aparat NICA dan kaki tangannya.
4.Afdeling
Mandar
Disertai bantuan sekutu,
aparat-aparat NICA dating ke Balanipa bulan oktober 1945. Ketika mereka hendak
menurunkan bendera merah putih di depan rumah kediaman ibu Depu yang juga
adalah markas komando perjuangan KRIS MUDA di Tinambung tanggal 28 Oktober
1945, semangat heroic ibu depu bangkit, dan segera menuju tiang bendera itu dan
memeluknya. Ibu Depu lalu menyerukan kepada rakyat untuk mempertahankan bendera
merah putih dan memperingatkan dengan lantang pasukan NICA yang hendak
menurunkan bendera itu, bahwa “tuan-tuan jangan coba-coba menurunkan bendera
ini, dan kalau mau paksakan juag, tembaklah saya baru bisa turunkan”.Seruan ibu
Depu itu, disambut secara sponta oleh rakyat dengan semangat patriotisme dan
segera berdatangan ke tempat kejadian.Dalam keadaan demikian, pasukan NICA
tersebut terpaksa harus mengurungkan niatnya.Kiranya mereka mengindari
berhadapan langsung dengan rakyat, sehingga bendera merah putih dapat
dipertahanka berkibar dengan megahnya. Gagal di Tinambung, pasukan NICA
meneruskan perjalanan ke Pambusuang dan Campalagian. Di kedua daerah itu mereka
berhasil menurunkan bendera merah putih yang berkibar.
Tanggal 1 Februari 1947, pasukan
Westerling bersama tentar KNIL dan polisi NICA melaksanak sapu bersig terhadap
para pejuang republic di kota Majene, Baruga, Simullu, Segeri, Lembang, Tende,
dan daerah-daerah sekitarnya. Aksi pembersiha itu bukan saja bertujuan menumpas
mereka, tetapi juga menteror mental rakyat agar tidak membantu pejuang.
Tindakak militer pasukan Belanda itu antara lain membakar rumah rakyat dan
memaksa mereka berkumpul di lapangan terbuka dan digiring ke Galung Lombok
disertai penganiayaan dan penembakan bagi yang berani melawan atau melarikan
diri serta membawa senjata. Namun dalam perjalanan ke Galung Lombok pasuka
Belanda itu di sergap dan diserang oleh lascar GAPRI 5.3.1.yang antara lain
terdiri dari Onggang, Basong, Habo, Dose, Hammasa, Sulemena Kube, Suharno, dan
Mariono di bawah pimpinan Harun. Pertempuran sengit terjadi antara 2 belah
pihak di Talolo. 3 serdadu Belanda tewas dalam pertempuran itu yaitu van Eeuw
berpangkat sersan mayor, Dickson berpangkat prajurit dan seorang lagi yang
tidak diketahui namanya. Sedangkan di pihak lascar GAPRI 5.3.1 dua orang gugur
sebagai kusuma bangsa, yaitu Onggang dan Sukirno.Dalam pertempuran itu, lascar
GAPRI 531 berhasil merampas 1 pucuk senjata dan 1 pucuk pistol Colt otomatis
berlambang kuda.
F.
Makna dan Hakekat Korban 40.000 Jiwa di Sulawesi Selatan
Dari data-data sementara yang ada dan setelah
melihat peristiwanya itu sendiri maka dapatlah dikemukakan bahwa makna dan
hakekat korban 40.000 itu bukanlah mengandung pengertian kuantitatif yang dalam
arti menghitung angka-angka, akan tetapi makna dan hakikatnya jauh dari
pengertian kuantitatif tersebut yaitu yaitu korban 40.000 jiwa di Sulawesi
Selatan haruslah dilihat dari segi pendekatan kualitatif yang makna dan hakekatnya
bagi perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia.
Secara politis tentunya korban
40.000 jiwa di Sulawesi Selatan merupakan suatu komsumsi yang sangat baik bagi
public opini dunia internasional, terutama terhadap rakyat Belanda sendiri yang
baru saja membebaskan dirinya dari penjajahan Jerman, batas tindakan yang
diluar perikemanusiaan dimana rakyat Belanda sendiri.
Akibat dari pada opini atas korban
40.000 jiwa di Sulawesi Selatan sampai perhatian dunia internasional menaruh
perhatian besar sehingga mengurangi simpati terhadap Belanda dan sebaliknya
semakin besar pengaruh RI di Form internasional.
Secara Sosiologis-Kulturil maka
makna dan hakekat korban 40.000 jiwa itu mengandung arti dimana angka 40 adalah
bersifat magis-religieus.Khusus di Sulawesi Selatan dikenal dengan istilah “tau
assalupa appaka” yang berarti orang yang paling sempurna dan tangguh.Yang
bersifat religeus dan dipandang sebagai pemberani yang memiliki kesempurnaan
ketahan fisik dan mental.Jika ada kematian dikenal pula dengan Bangi/allo
patampullonatau matea. Bagi golongan islam patareka ada yang disebut dengan
sifat-sifat yang wajib dan mustahil ALLAh jumlahnya 40 demikian pula nabbi
patampulona.
Banyak lagi hal-hal yang bersifat
magies religious yang hubungannya dengan angka empat yang tentunya pada masa
perjuangan mengandung arti yang sangat penting deni kepentingan perjuangan
membela tanah air ibu pertiwi dalam usaha pengobaran semangat juang dan
patriotisme.
Secara historis istilah 40.000
diucapkan oleh pak kaham muzakkar pada saat beberapa anggota pasukan expedisi
TRIPS ke Sulawesi Selatan kembali ke Yogyakarta akhir tahun 1947 dan melaporkan
kekejaman Westerling yang mana hal tersebut diteruskan pula kepada presiden
Republik Indonesia Bung Karno.
Atas laporan kahar muzakkar kepada
presiden RI bung Karno terhadap semua peristiwa di SulSel terutama tindakan
Westerling dengan pasukannya maka pada saat itu pak Kahar Muzakkar dengan penuh
emosi mengemukakan bahwa kenapa bapak rebut tentang korban 46 orang yang gugur
di wagon kereta api barabg dari Bondowoso ke Surabaya sedangkan 40.000 orang
tidak diributkan.
Bung Karno dengan sangat terharu
menerima laporan pada saat itu dengan bercucuran air mata dan segera
memerintahkan untuk menyiapkan pasukan istimewa untuk di kirim ke Sulawesi
Selatan dan dilatih sebagai pasukan PARA Maguwo-Yogyakarta dan pak Kahar secara
rahasia di TRI Maguwo no. 10 Yogyakarta menyiapkan 35 orang perwira TRI
Maguwo-Yogyakarta untuk dilatih 3 bulan antara lain Bambang Sutrisno, Yansin
Bandhu dan lain-lain.
Pada saat itulah Bung Karno
mengambil alih istilah kotban 40.000 di SulSel dalam setiap mengadakan
pidato-pidatonya terutama Bung Tomo dalam usaha mengobarkan semangat perlawanan
putra putri Indonesia di seluruh tana air khususnya di SulSel. Jelaslah bahwa
makna dan hakekat untuk bidang perjuangan adalah untuk membangkitkan semangat
patriotism putra putri Indonesia dalam masa perjuangan membela dan mempertahankan
Negara proklamasi 17 Agustus 1945.
Pada kenyataannya bahwa istilah
40.000 tidak hanya dikobarkan pada masa perang kemerdekaan RI tetapi malah
sampai masa konferensi pembebasan Irian Barat tetap dikumandangkan oleh
presiden RI Bung Karno. Dengan demikian jelaslah bahwa makna dan hakekat korban
40.000 di SulSel bukanlah mengandung pengertian kuantitatif karena selain belum
adanya statistic dan registrasi penduduk serta administrasi yang rapi, juga
perjuangan di daerah pendudukan identitas para pejuang sangat merahasiakan
sehingga ada kemungkinan para pahlawan yang tidak dikenal masih banyak
berserakan yang tidak diketahui.
Hal ini dapat dimungkinkan karena di
Eropa sendiri yang telah memiliki administrasi, registrasi, statistic, yang
rapih tetapi masih banyak monument-monumen prajurit yang tidak dikenal di
mana-mana sebagai akibat perang dunia II yang lalu.
Penentuan tanggal 11 desember 1946
sebagai hari korban 40.000 jiwa adalah karena pada saat itu pulalah peningkatan
korban para pahlawan yang paling menonjol pada masa S.O.B, akan tetapi korban
40.000 sebenarnya telah terjadi jauh sebelim S.O.B diputuskan sampai saat
Belanda meninggalkan bumi Indonesia khusunya di SulSel.
Di samping itu korban 40.000 bukan
hanya dilihat korban dari hasil penembakan KST/KNIL Westerlung tetapi juga yang
tidak kurang jumlahnnya judtru penembakan yang dilakukan oleh pos-pos KNIL,
polosi NICA dan malah pasukan Pasoso, Poke, Pangese yang tersebar di desa-desa.
Belum lagi termasuk rakyat yang korban dalam suatu V.C antara KNIL-KST/KL,
polisi, NICA dengan kelasykaran/TRI/ALRI dalam suatu operasi.
Besarnya jumlah korban-korban
merupakan pula suatu pencerminan adanya perlawanan yang gigih yang dilakukan
oleh putra putri patriot bangsa di SulSel sebagai konsekuensi logis dari akibat
suatu peperangan.Apakah korban yang ditimbulkan oleh pihak lawan maupun kawan,
dan kesemuanya itu termasuk korban 40.000 di SulSel.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Akhirnya dapatlah kita kemukakan bahwa korban 40.000
rakyat dan pejuang di Sulawesi Selatan merupakan sebagai suatu kenyataan dan
saksi sejarah atas korban yang jatuh akibat peperangan yang terjadi melawan
Belanda dalam masa perang kemerdekaan, dan merupakan lambing patriotisme yang
menyebabkan ribuan mayat dan tulang-tulang berserakan yang menentukan andilnya
dalam perjuangan yang tidak dapat diputarbalikkan karena mereka mati untuk kita
hidup guna untuk meneruskan cita-cita yang agung dari para pahlawan-pahlawan
bangsa.
Dalam suatu peperangan maka fakta sejarah
membuktikan akan timbulnya korban tidak hanya para pasukan dan tentara yang
ikut terlibat langsung dalam peperangan, akan tetapi justru rakyatlah yang
lebih besar jumlahnya yang ikut serta membantu dalam perlawanan kepada Belanda,
dan hal yang sedemikian inilah maka perlawanan yang sangat gigih di Sulawesi
Selatan dari kelasykaran, TRI/ALRI meminta korban jiwa yang sedemikian besarnya
rakyat Sulawesi Selatan terutama pada saat dinyatakan dalam keadaan darurat
perang (S.O.B) tanggal 11 desember 1946 sehingga tanggal itu pulalah dijadikan
sebagai tonggak sejarah korban 40.000 rakyat dan di pejuang Sulawesi Selatan,
karena sejak dinyatakan ke empat afdeling Makassar, Bonthain, Pare-Pare, dan
Mandar dalam keadaan darurat perang (S.O.B) korban karena semakin meningkat
jumlahnya.
Makna dan arti korban 40.000 rakyat dan pejuang
Sulawesi Selatan adalah dilihat sevara kuantitatif, karena jumlah korban secara
pasti sukardiketemukan karena registrasi dan administrasi pasukan dan rakyat
yang gugur sangat sulit dilakukan lebih-lebih untuk daerah pedalaman di satu
pihak, terutama yang jauh du gunung-gunung, sedangkan pengalaman perang dunia 2
di Eropa ternyata juga banyak pula monument-monumen berserakan bagi
prajurit-prajurit yang tidak dikenal namun administrasi dan registrasi rakyat
dan pasukannya sangat sempurna.
Monument korban 40.000 rakyat dan pejuang Sulawesi
Selatan yang berlokasi di tempat penembakan rakyat san pejuang kalukalukuang
sebagai salah satu tempat penembakan yang dilakukan oleh KST/KNIL, dimaksudkan
untuk dapatnya dihayati dan diwariskan semangat pengorbanan mereka khususnya
kepada generasi muda sebagai generasi pemangku dan pelanjut cita-cita luhur
perjuangan bangsa yang tercermin dalam semangat kerelaan berkorban dan
kebulatan tekad yang nendarah daging bagi setiap patriot bangsa yaitu “merdeka
atau mati”.
Dalam menghadapai proses regenerasi yang akan dating
maka penghayatan semangat rela berkorban oleh generasi muda sangat diperlukan
dalam usaha mengisi kemerdekaan dengan kebulatan tekad “membangun atau hancur”.
Dengan demikian bina dan kembangkanlah nilai-nilai
perjuangan 1945 dan khususnya nilai semangat pengorbanan 40.000 rakyat dan
pejuang di Sulawesi Selatan itu dengan mengabdikan diri di dalam karya dengan
meningkatkan prestasi kerja dan pengabdian yang sebesar-besarnya bagi pembangunan
bangsa dan Negara sebagai pahlawan-pahlawan pembangunan.
B. Saran
Kami
sadar sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari kesan sempurna, hal ini
dikarenakan keterbatasan sumber yang kami peroleh.Oleh karena itu, kami sangat
membutuhkan saran dan kritik yang kiranya dapat membangun dan mengurangi
kekurangan.Atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, asdy. H.
2007. korban 40.000 jiwa di Mandar: Yayasan Mahaputra.
…..,. 1979. SOB
11 Desember 1946 Sebagai Hari Korban 40.000. Makassar: Tim Peneliti Sejarah Perjuangan Rakyat SulSelra Kerja sama Kodam XIV Hasanuddin, UNHAS, dan IKIP
Ujung Pandang.
….., 1996.
Seminar Regional Sejarah Revolusi Kemerdekaan Indonesia di SulSel. Ujung
Pandang: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Bekerja Sama Dengan Balai Kajian
Sejarah dan Nilai Tradisional.
….., 2005
Sejarah Sulawesi Selatan Jilid II . Makassar: Pemerintah Prov. Sulsel Badan
Penelitian dan Pengembangan Daerah Bekerja Sama dengan Masyarakat Sejarawan
Indonesia cabang Prov. Sulsel.
Arfan, Muh.
Nuraedah, ST. Amir, Muhammad. 2005. Monumen Sejarah Perjuangan Bangsa di Sulsel
Seri II. Makassar: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sulsel.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar